Rabu, 23 Oktober 2013

5 Tahun

Sengaja ku putar memori otakku
5 tahun bukanlah 5 detik
5 tahun bukanlah waktu yang singkat
Tepat di 5 tahun lalu
Di hari itu aku melihatmu
Paparan jiwa pancarkan kedamaian
Sesekali aku melihat guraumu yang menawan
Penuh dengan cahaya berkilauan
Hingga akhirnya aku tersadar
Tersadar dari angan-angan semu
Bahwa kau terlalu sempurna bagiku
Bahwa kau terlalu indah untukku
Tepat di 5 tahun lalu
Ku coba redam rasa ini dalam-dalam
Sengaja tak ku buang rasa ini
Namun hanya ku pendam dalam hati
Ku pendam tertanam di lubuk hati
Karena kata hati nurani
Disuatu hari kan ku temukan pupuk sejati
Pupuk untuk rasa yang telah terpendam ini
Agar bisa bersemi indah dikemudian hari

Minggu, 13 Oktober 2013

Jangan Menangis Mama

By: Bella Indik Nata
Be_blueberry-Taureans'TallentedGirl

Mama, anakmu sembari puing-puing bangunan tua nan rapuh jika tiada engkau.
Anakmu adalah bukan anak orang lain.
Mama engkau yang melahirkanku, menyusuiku, memebesarkanku, merawatku, membimbingku hingga aku sebesar ini dengan penuh rasa kasih nan sayang yang teramat tulus darimu.
Mama, belaianmu tiada ada kata terganti.
Mama aku tau dalam doamu kau memohon.
Dalam nafasmu kau meminta.
Dalam langkahmu kau berharap. Pada Tuhan YAng Maha Esa dan hanya untukku seorang.
Mama bisakah aku menjadi dirimu yang selalu berkorban demi apa yang anakmu minta?
Bisakah aku menjadi sosok wantia sebijaksana dirimu?
Bisakah aku melapangkan hati seluas lautan sepertimu?
Bisakah aku?
Bisakah aku?
Bisakah aku?
Bisakah aku membalas semua pengorbananmu Mama?
Sedangkan aku anakmu setiap hari membullymu dengan kata-kata khilafku sehari-hari.
Aku anakmu sering tak menghargai relanya engkau bangun pagi demi membuat sarapan namun tak ku makan.
Aku anakmu pernah membalas air susumu dengan air tubah.
Lalu dengan apa aku membalasnya Mama?
Katakan Mama,, sayangnya kau pasti takan pernah mengatakan.
Dengan apa aku harus membalasnya Mama?
Emas? Intan? Permata? Harta? Rumah? Kartu kredit?
Cukup kah Ma? Cukup kah? Pasti tidak cukup Mama...
Cinta tulusmu takan terganti dengan berton-ton harta yang ku punya.
Mama jangan tangisi rambut lebatku yang menipis sungguh.
Mama jangan tangisi rambut-rambutku yang sudah rontok berjatuhan tak karuan.
Hanya rambut rontok Mama, itu efek dari usia remajaku.
Mama lihat rambutku yang masih banyak di kepalaku.
Mama, mungkin hampir dekat saatnya aku pergi mengabdi.
Lalu aku kembali membawa jati diri ini.
Jati diri yang selama ini aku nanti.
Untuk menjadi bagian hidupku di kemudian hari.
Tanpa engkau Mama ku hanya puing-puing bangunan tua yang rapuh.
Tuhan, jaga Mamaku bahagiakan Mama seperti Mama menjaga dan membahagiakanku selama ini.

Cinta Dalam Kesadaran

By: Bella Indik Nata (Be_blueberry-Taureans'TallentedGirl)
cerita yang saya tulis hanya sebuah cerita fiktif belaka. mohon maaf atas segala kekurangan... *^_^*

Sebuah kisah perjalanan cinta yang rumit nan romantis dari dua insan yang menyatu, keduanya memiliki profesi yang berbeda. si pria berprofesi sebagai TNI dan si wanita berprofesi sebagai Pramugari. Disuatu kencan malam yang amat romantis..

Wanita: "Mas kenapa dari tadi diam saja? mas ga suka ya kencan sama adik malam ini?"

Pria: "Mas hanya bingung sama adik!"

Wanita: "Bingung kenapa mas? apa mas tidak suka kalau adik memakai pakaian sexy, bermake up cantik, dan bermodel rambut ala korea?"

Pria: "Adik, pakaian adik terlalu press body. membuat para mata kuda tertuju pada adik, astaghfirullah itu maksiat sayang. adikpun tanpa bermake up sudah sangat cantik, dan tanpa adik merebounding rambut adikpun, adik sudah sangat terlihat charming. jujur ini berlebihan menurut mas!"

Wanita: "Sudahlah mas, adik seperti ini juga demi mas TNI seorang. Sudah sudah,, mending kita bahas rencana pernikahan kita saja, sudah satu tahun kita tunangan mas!"

Pria: "Awalnya mas mau membahas tentang itu, namun melihat adik seperti ini mas justru ragu sama adik."

Wanita: "Apa maksud mas berkata seperti itu? apa kurang cantik adik di mata mas?"

Pria: "Bukan kurang cantik dik, tapi kamu berlebihan. maafin mas, sepertinya mas tidak bisa melanjutkan hubungan kita ke jenjang yang lebih serius. mas besok di tugaskan ke Aceh, semoga disana ada penggantimu yang lebih baik."

(Tanpa ada kata sepatahpun si pria pergi meninggalkan si wanita. rasa kecewa yang teramat dalam sangat tampak di raut wajah si pria dan si wanita hanya bisa menangis menyesali dirinya malam itu)

Wanita: "Dasar aku bodoh! harusnya aku tidak seperti ini, apalagi aku tau kalau tunanganku jauh lebih suka diriku yang natural. Astaghfirullah, setan apa yang merasuki diriku Ya Allah"

Sejak kejadian malam itu, si wanita mulai belajar berhijab (menutup seluruh auratnya). dan sejak saat itu pula dia menjadi Pramugari pertama yang menggunakan jilbab di area kerjanya. Tak terasa bahwa waktu terus melaju begitu cepatnya. setelah satu bulan lost contact dengan si pria, tiba-tiba saja si pria menelfon si wanita.

Wanita: (terheran dengan nama yang tertera di handphonenya) "Assalamualaikum"

Pria: "Waalaikumsalam, adik masih ingat suara mas?"

Wanita: "Tentu saja mas" (Terharu)

Pria: "Adik tau atau tidak, bahwa selama ini mas sebenarnya mengintai adik dari dekat tanpa adik tahu. Dik, selama satu bulan ini, mas melihat adik menggunakan jilbab, berpenampilan natural. jujur mas sangat bangga pada adik setelah mas berkata pahit di malam itu, bahwasanya adik secepat ini merubah sikap.

"Wanita: "Jadi selama ini?"

Pria: "Iya dik, selama ini sebenarnya mas tetap ada di samping adik, dan mas sebenarnya tidak ditugaskan ke Aceh. mas hanya ingin menguji adik, dan alhamdulillah ini jawabannya, jujur mas sangat bangga dan salut pada adik.

"Wanita: (Menangis mendengar perkataan si pria)

Pria: "Tanpa banyak waktu dik, tolong bilang pada kedua orang tua adik. besok mas akan membawa rombongan mas untuk melamar adik menjadi permaisuri mas."

Wanita: "Mas serius?"

(si pria mematikan telfon, dan tiba-tiba berada di belakang si wanita dengan membawa setangkai mawar putih)

Pria: "Tentu saja mas serius pada wanita sholeha macam adik"

Wanita: "Subhanallah" (Menangis terharu di pundak si pria dengan memegang setangkai mawar putih pemberian si pria)

Sabtu, 27 Juli 2013

KEGAGALAN SEMENTARA

Oleh: Bella Indik Nata

Ketika kulihat tatapan matanya
Ku rasa sebongkah kristal menyala
Sebongkah kristal penyejuk jiwa
Tertancap erat di jantung hati beta
Suatu kegelisahan terukir di dalam bathin
Menyeret jiwa seolah tak mampu jadi pemimpin
Kegagalan adalah kata yang kini terucap
Tertanam di dada melekat tertancap
Perlahan kucoba untuk bertahan
Hanya memegang kata ketegaran
Ku mulai melangkahkan kaki
Langkah demi langkah kujalani hari
Perlahan kurasa nikmatnya hidup
Menyadarkan hati yang pernah tertutup
Perlahan lembaran lama mulai ku tutup
Dan mulai kujalani lentera hidup
Perlahan ku gapai titik kesuksesan
Meski banyak cobaan dan pengorbanan
Kini aku mulai mengerti sebuah makna
Bahwa ketika itu hanyalah kegagalan sementara

Senin, 03 Juni 2013

LAYANGAN BERPESAN


Oleh: Bella Indik Nata

“SMA, kata orang-orang masa SMA itu masa yang menyenangkan. Karna saat SMA kita dapat menikmati beribu rasa yang belum pernah dirasakan sebelumnya, dan masa SMA adalah cerita menarik untuk diceritakan pada anak cucu kelak.” Gumamku dalam hati sambil menyampul plastik buku-buku tulisku. Setelah satu minggu MOS (Masa Orientasi Siswa) akhirnya aku bisa duduk dibangku SMA kelas X, detik ini aku dan kawan-kawanku masih menjadi junior, dan yang pasti kita masih lugu-lugu. Tapi mungkin keluguan kita hanya sesaat, mungkin hanya satu minggu. Lalu kita sudah bersikap seperti senior-senior kita. Dalam SMA bagi siswi dilarang menggunakan make up berlebih dan perhiasan berlebih, rok seragampun paling pendek lima sentimeter di atas lutut panjangnya. “Normal” Gumamku lagi.
Hari pertama aku disekolah baruku, SMA Negeri Unggulan. Jarang siswa yang bisa masuk di SMA ini, karena sekolah ini memprioritaskan kemampuan otak dari pada yang lainnya. jadi sekolah ini hanya memiliki lima kelas dalam tiap angkatannya, yaitu kelas X/XI/XII 1, 2, 3, 4, dan 5 IPA atau IPS. “Pintar, Kaya, dan Terkenal” itu image dari sekolah SMA ku ini, tapi ya sebenernya aku belum tau persis seperti apa, karena aku hanya orang baru dikota dan lingkungan ini. Ketika aku masuk dalam kelas X 1, aku memilih duduk dibangku nomer ke dua dan hanya sendiri saja. Ketika pelajaran dimulai, guru biologi yang juga wali kelasku menyuruhku untuk duduk didepan bersama seorang siswa laki-laki yang terlihat rada susah bicara (Pendiam). Aku sangat menikmati pelajaran dari jam pertama sampai waktu istirahat, “Aku terasa asing disini. Tapi aku harus yakin kalau aku bisa bersosialisasi” Gumamku sambil menarik nafas dalam-dalam lalu meghembuskan perlahan. Aku duduk sendiri diperpustakaan sambil membaca novel Harry Potter, ketika asiknya aku membaca novelku seorang siswa laki-laki menjatuhkan hampir semua buku yang ada di rak belakangku. Aku membantunya untuk menaikan buku pada raknya semula, kurasa dia tak sengaja. “Thank’s ya loe baik banget.” Katanya sambil tersenyum manis padaku, aku hanya membalasnya senyum lalu aku pergi meninggalkannya sendiri di perpustakaan. Sesekali aku melihat dia dengan menoleh ke arahnya, diapun tetap melihatku tercengang ditempat ia berdiri.
Ketika dirumah, kedua orang tuaku belum pulang kerja, inilah keadaan di setiap harinya mulai kita bertempat tinggal di Jogja, Singapura, Bandung, dan kini Jakarta. Ya mereka sangat sibuk, tapi aku mengakui mereka orang tua yang hebat. Karena masih menyisihkan banyak waktu untuk anak-anaknya dan selalu mengadakan moment family time setiap seminggu sekali. Dirumah hanya ada kakak laki-lakiku yang sedang asyik berenang dikolam renang keluarga. “Kak, sibuk ngga?” Tanyaku pada kakakku “Ngga kok. Ada apa?” Jawab kakakku dengan lembut sambil membasuh mukanya. Kakaku memang laki-laki yang tampan dan populer, tapi dia ngga egois dan sombong seperti kebanyakan laki-laki diluar sana. “Aku, mau nerbangin layang-layang” Jawabku sambil menyodorkan layang-layang kedepan tubuh kakaku yang masih basah kuyup karena air kolam. “Owh, oke. Kakak mandi dulu ya” Jawab kakakku setuju sambil mengoyak rambutku. Ketika aku menunggu kakakku mandi, akupun membaca sekilas tentang pesan yang aku tulis dilayang-layang, lalu mengotak atik telfon genggam milik kakakku. Tak lama kemudian kakakku mengajak ke taman dekat rumah untuk menerbangkan layang-layang itu, dan memutus talinya. “Kak, tinggiin lagi dong. Sampai layang-layangnya ngga kelihatan.” Kataku pada kakakku yang sedang berusaha meninggikan layang-layang sampai tertutup awan yang paling tinggi dan tebal. Ketika layang-layangku sudah tak terlihat dari bawah, aku segera memotong layang-layangku.
Malam hari kemudian, sekitar pukul 20.00 kedua orang tuaku mengajak aku dan kakaku makan malam. Kakakku terlihat murung saat berhadapan dengan makanan yang ada diatas meja makan “Vano kenapa kamu?” Kata Mamaku lembut pada kakakku “Ngga nafsu makan Ma” jawab kakakku sedikit moody, namun kakakku tetap memaksakan makanan untuk masuk kedalam lambungnya meski hanya satu suap, dia bilang itu menghargai nikmat sang pencipta. “Kakak kenapa?” Tanyaku pada kakakku yang tengah berbaring diatas kasur kamarnya “Kakak ngga apapa kok” Jawab kakakku dengan sabar sama persis ketika aku masih SMP dulu, mungkin dia kira aku masih belum mengerti masalahnya “Kakak, cerita aja kalau lagi ada masalah.” Kataku sedikit memaksa kakakku “Kakak tidur dulu ya, kakak ngantuk. Kamu jangan tidur malam-malam, besok harus sekolah.” Kata kakakku sambil menarik selimut tebalnya. Akhirnya aku keluar dari kamar kakaku dan jalan menuju kamarku sendiri untuk melanjutkan membaca buku yang tadi siang aku pinjam dari perpustakaan sekolah. Waktu menunjukan pukul 23.00 perasaan gaduh menuntunku masuk kamar kakakku dan memastikan bahwa kakakku baik-baik saja. Akupun menuruti perasaan gaduhku, yang seolah menghantui aku. Aku duduk disamping kakaku dan memegang tangannya, aku katakan padanya bahwa aku akan setia menjadi adik sekaligus sahabatnya. Ketika aku pegang tangan kakakku ada yang beda kurasakan. Ya, badan kakaku panas, kurasa dia demam. Aku turun kekamar Mama dan Papa, dan melaporkannya. Tindakan tepat dari Papaku si dokter andalanpun diluncurkan, aku khawatir dengan kondisi kakakku, akupun meneteskan air mataku, aku ngga mau dia masuk kedalam ruang ICU lagi seperti saat ia SMA dulu.
Pagi hari kemudian aku membawakan bubur ayam khas Jakarta dan susu full cream pada kakakku, aku menyuapinya dengan penuh rasa sayang, dia terlihat masih lesu namun masih saja menyempatkan diri menyuruhku untuk tersenyum. Akupun berangkat sekolah sendirian, tidak seperti biasanya yang selalu di antar kakak dengan motor besar kesayangannya. Ketika disekolah aku berusaha untuk fokus pada pelajaran meskipun terpecah konsentrasiku karena memikirkan kakakku. Ketika bell pelajaran selesai entah dewa apa yang membawaku untuk melangkahkan kaki kedepan kelas X 2, lalu aku bertemu dengan siswa laki-laki yang menjatuhkan buku-buku diperpustakaan kemarin siang “Hey, loe yang kemarin nolongin gue kan? Nah gue mau traktir loe karna loe udah nolongin gue.” Katanya heboh sambil mengeluarkan tampang sok ramahnya “Maaf aku bukannya mau nolak traktiran kamu. Gimana kalau traktirannya diganti aku mau minta tolong sama kamu” Kataku rada grogi menghadapi laki-laki ini “Owh, loe ngga mau gue traktir. Yauda, loe maunya apa?” tawar si laki-laki ini mulai kalem. Tanpa pikir panjang, akupun langsung mengajaknya ketaman sekolah untuk menerbangkan layang-layangku, dan dalam layang-layang inipun banyak pesan-pesanku. “Loe lucu ya, persis sama keponakan aku yang masih taman kanak-kanak” Katanya seusai menerbangkan layang-layangku sambil tertawa kecil “Itu semua ada ceritanya. Ngga tiba-tiba nerbangin aja.” Kataku sambil menyodorkan sebuah buku sejarahku menerbangkan layang-layang. “Buku ini boleh gua bawa ngga. Ya sekitar satu minggulah?” Tanyanya seusai membaca judul dan lembar pertama dari bukuku, dan akupun mempersilahkannya asal tidak dia buang.
Sampailah aku di rumah, kakakku menungguku didalam kamarku sambil membaca-baca buku hasil tulisanku “Kakak” Kataku terkejut saat melihat kakakku membaca buku karyaku berjudul “Bagaimana Hidup”. “Puty, maaf kakak lancang. Abis kakak sudah lama ngga baca karyamu” kata kakakku meminta maaf, dan akupun tertawa melihat mudat (Muka datar) kakakku yang lucu yang seolah takut akan aku marahi. Kemudian kakak menyuruhku mandi dan segera turun kebawah untuk makan siang berdua, “Kakak semua ini yang nyiapin?” Tanyaku pada kakak saat duduk dimeja makan “Iya, kusus untuk Puty Maydica” kata kakaku tampak so sweet. Setelah selesai makan siang, kakakku mengajaku sharring dan kitapun ketawa ketiwi seperti anak kecil yang sedang heboh bermain dengan kawan sepermainannya. Tiba-tiba suara mobil tanda meminta dibukakan pintu ada didepan rumah “Sapa tu kak?” Tanyaku pada kakakku yang sedang menikmati jus tomat kesukaannya “Papa mungkin Ty” Kata kakakku rada ngga yakin, lalu aku memejamkan mata dan menyebutkan ciri-ciri orang yang ada didalam mobil itu sebelum membukakan pintu untuk orang yang ada didepan pintu gerbang itu “Tinggi ideal, kuning langsat, muka bulat telur, hidung mancung, gigi bagian bawah berbehel, bibirnya tipis, naturally, berkerudung” Kataku dengan spontan “Lho, itukan ciri-ciri cewe kakak Ty.” Kata kak Vano mengagetkanku yang sedang berkonsentrasi penuh. Karena kakakku bilang itu pacarnya, aku segera membukakan pintu, lalu mobil berwarna merah itupun masuk sampai halaman rumah keluargaku. Tampak sosok gadis berciri-ciri yang sama keluar dari dalam mobil itu, seraya aku menyapanya “Pasti pacar baru Kak Vano” Kataku berlagak seperti anak kecil. “Iya, ini pasti Puty. Kakaknya ada kan dik?”  Tanyanya lemah lembut dan ramah. Dan akupun mempersilahkannya masuk lalu memanggil kak Vano yang masih asik menikmati jus tomatnya di taman rumah. Selagi mereka berbincang-bincang, aku tinggal mereka berdua. Aku masuk kedalam kamar dan menulis pesan-pesan diatas sebuah layangan yang hendak aku terbangkan sore hari bersama kakakku.
Satu minggu kemudian, ada sebuah lomba KIR di sebuah universitas negeri, yang tak lain adalah universitas tempat kakakku menimba ilmu. Aku ingin sekali mengikutinya, namun aku bingung, aku harus berpartner dengan siapa. Aku duduk di taman sekolah dan hanya memandangi brosur menarik itu. Tiba-tiba laki-laki yang meminjam bukuku waktu itu yang tak lain adalah Arif datang dan mengembalikan bukuku yang ia pinjam satu minggu yang lalu. Ketika dia berbicara aku tidak menghiraukannya, karena aku terangan-angan akan lomba KIR, tanpa sengaja aku raba bukuku, ya permukaan sampulnya beda. Sebelum dia pinjam, buku ini polos, tidak bergerigi, namun sekarang banyak terasa gerigi diatas buku ini, hatiku bergumam “Rusak” lalu aku melihat keadaan bukuku dan ternyata baik-baik saja. Dan akupun menghembuskan nafas lega, meski sedikit terkejut karena adanya ukiran di buku ini. “Buka dong bukunya, masa diliatin doang, ada kejutannya lho” Kata Arif, dan akupun hanya tersenyum padanya, dan langsung membuka bukuku itu. Terkejutku benar-benar saat melihat isi bukuku, sudah sangat berubah, karena kini ada gambar tokoh-tokoh yang ada dalam cerita itu. Ya, tentu saja disini ada aku, kakak, sahabat, mama, papa, nenek, tante, om, dan pengasuhku dan kak Vano saat kecil dulu. “Bagus banget kamu gambar sendiri?” Kataku terkagum pada Arif “Iya, tapi maaf ya gua lancang gambar-gambar dibuku loe, meski sesuai tokohnya.” Kata Arif sekaligus meminta maaf. “Ngga papa. Aku malah seneng banget. Bagian kosong ini sengaja memang ingin aku gambar, tapi aku ngga bisa gambar.” Kataku nyengir pada Arif. Teringat kembali pada brosur yang aku pegang, lalu aku berinisiatif untuk mengajak Arif mengikuti perlombaan itu, dan akhirnya Arifpun setuju. Di tengah ke asyikanku sama Arif, kakakku menelfon karena sudah menungguku lebih dari sepuluh menit di depan sekolah, akhirnya aku meninggalkan Arif sendiri. Ketika hampir didepan pintu gerbang, tampak teman-teman dan kakak-kakak kelasku heboh sendiri, dan aku tidak tau mereka menghebohkan apa, yang jelas mata mereka tertuju pada satu objek yang perfect and good looking. Tanpa pikir panjang akupun keluar gerbang dan hendak menghampiri kakakku, aku terkejut ketika melihat kakakku melepas helm teropongnya, dan akupun berfikir bahwa mereka semua melongo dan heboh dengan sendirinya melihat kakakku, bagaimana tidak heboh baru kali ini kakakku membuka helm teropong berkaca hitam di depan umum. Sepulang dari sekolah kakak memberhentikanku disebuah tempat yang luas, kakak bilang ingin membantuku menerbangkan layang-layang.
Dua hari kemudian, tepatnya hari minggu. Aku sengaja ikut kakakku ketempat pemotretannya, sebenarnya aku ada jadwal taekwondo di aula dekat rumah, tapi aku mengabaikannya karena kakakku sangat ingin aku ikut dengannya. Ketika di tempat pemotretan, tiba-tiba partner kakak tidak bisa hadir karena kondisinya tidak memungkinkan, akhirnya kakakku merekomendasikanku pada managernya untuk menjadi partner foto kakakku. Inilah aku detik ini, aku yang selalu tampil simple tanpa make up kecuali bedak bayi, terdandan cantik secantik putri dari khayangan. “Wah, adik kakak cantik sekali” Kata kakakku seolah terpesona padaku, namun aku mengeluhkan aksesoris dan busana yang aku kenakan saat ini, dan kakak memberiku support tinggi dan positiv. Pemotretan selesai, foto-foto elok nan eleganpun terpilih, tinggal dipajang di sebuah majalah ternama. Sepulangnya aku dari tempat pemotretan, aku tampak lesu, karena menjadi artis dadakan tanpa pemanasan. “Lho, Puty kenapa?” Kata Mamaku yang tadinya sedang asyik berbincang-bincang sama Papa, aku tak menjawab justru memanyunkan mulutku beberapa mili, akhirnya kakakku yang menjawab pertanyaan Mama “Lihat besok saja Ma. Vano jamin Mama shock akut.” Mamaku makin terheran ada apa sebenarnya, sehingga Mama hanya menggelengkan kepalanya dan lanjut berbincang sama Papa, aku masuk kamar diikuti oleh kakakku dan digoda karena menjadi artis dadakan. Esok hari kemudian, aku dandan rapi karena menjadi pemimpin upacara disekolahku. Saat aku hendak sarapan, aku bingung karena tak ada satupun orang yang ada di meja makan, padahal biasanya mereka sudah berkumpul. Akhirnya aku keluar rumah sambil membawa selembar roti tawar berlapis selai blueberry, tampak Mama, Papa, dan Kakakku heboh dengan suatu majalah. “Lho, ini dia artis barunya” Kata Papaku heboh, tapi aku melongo bingung “Maksud Papa?” Kataku rada bingung, namun sudah ada feeling bahwa wajahku sudah terpampang pada suatu majalah. “Puty tau ngga? Foto kita jadi Cover di majalah ini.” Kata kakakku bangga, namun sukses membuat jantungku lepas “Astaga! Kakak bilang, foto kita ngga dipampang sebagai cover?” Kataku rada kesal pada kakakku karena malu. “Itu tergantung Ty, kalau fotonya elegan, ya dijadikan Cover” Kata kakak sambil menikmati susu full creamnya. Akupun hopelessness, namun aku berusaha untuk senyum karena sudah sukses membuat orang-orang yang aku sayang ikut tersenyum bahagia. Tak lama dari itu, aku di antar kesekolah dengan kakakku. Sampai disekolahpun, satu sekolah heboh besar-besaran dan majalah ABABIL itu laku keras, ketika aku di kelas, temanku ada yang bertanya padaku “Puty, ini loe ya? Gila asli loe cantik banget” Kata temanku “Iya itu aku, ih aku malu tau” Kataku berusaha merebut majalah temanku “Jadi selama ini lu model ya, so loe akrab dong sama Vano Julio, nih buktinya kalian pemotretan berdua, jadi cover pula. Wuu gw iri deh” Kata temanku sedikit memanyunkan mulutnya “Aduh, temanku yang baik hati. Vano Julio itu kakak kandung aku kali. Aku bukan model, kemarin aja partner model kakak ngga bisa dateng, digantiin aku deh.” Kataku menerangkan agar tidak ada salah faham “Serius loe Puty? Jadi lu adiknya? Pantes aja kalian mirip. Waa bahagianya loe, punya kakak setampan Vano” Kata temanku makin heboh karena wajah aku terpampang di majalah itu bersama dengan Artis idolanya. Akupun memiliki julukan spesial dari teman-teman, kakak-kakak senior, dan guru-guru yaitu “Arba (Artis Baru)” aku sedikit risih dengan kejadian ini, namun aku sudah terlanjur basah, padahal niatan aku hanya membantu kakakku supaya pemotretrannya kemarin tidak gagal. Pulang sekolah, dan kali ini berbeda, Papaku yang menjemputku, Papa bilang kakakku sedang ada urusan di kampusnya. Sama seperti kakakku, Papakupun sering aku ajak menerbangkan layang-layang dihalaman yang luas, dan kali ini aku mengajak Papaku.
Esok hari kemudian aku sengaja tidak masuk sekolah, karena hendak mengikuti lomba KIR, tiba-tiba sekitar pukul 07.00 kakakku membawa seorang wanita dan pria setengah baya, mereka menawarkanku job pemotretan. Awalnya aku tidak mau, sama sekali tidak mau, tapi aku melihat diwajah Mama dan Papa penuh harapan padaku, akhirnyapun aku berkata “DEAL”. Mama dan Papa tersenyum, terlebih lagi kakakku heboh setengah mati karena aku ikut terjun pada dunia sampingannya. Setelah itu, aku memboyong kakakku untuk pergi ke kampusnya, aku sudah siap sekali untuk mengikuti perlombaan itu. Disana aku melihat Arif partnerku sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita yang tak lain dia adalah Kak Winda, pacar kakaku. Setelah aku menghampiri partner lombaku, kak Winda jalan entah kemana dengan kakakku. “Kamu kenal ya sama kak Winda” Tanyaku pada Arif lugu “Oh, iya. Aku belum kasi tau loe. Winda itu kakak gue.” Kata Arif menjelaskan. “Kakak kamu pacaran sama kakak aku, lah kita calon saudara nih.” Kataku heboh pada Arif “Lho.... jadi Vano itu kakakmu? Pantas aja loe cantik, lha kakak loe cakep.” Kata Arif sok nggombal, dan sukses bikin aku mencubit tangan kanannya. Akhirnya aku dan Arif menempati stand kita untuk lomba KIR. Berjam-jam kemudian, akhirnya selesai sudah waktu untuk mengerjakan KIR, dan menunggu pengumuman pemenang perlombaan. Satu jam kemudian akhirnya pengumuman pemenang disebutkan satu persatu. Awalnya aku yakin akan menjadi juara ke dua. Namun ternyata juara kedua diraih oleh SMA Cendrawasih, lemas dan putus harapan  sudah diriku, namun ada kakakku yang menggenggam erat tanganku dan memberiku keyakinan sebagai juara pertama, tak lama kemudian tersebutlah namaku dan nama Arif serta nama SMA kebanggaanku dinobatkan sebagai juara pertama. Ketika pulang dari tempat perlombaan, aku mengajak kakakku, kak Winda dan Arif untuk menerbangkan layanganku.
Dua hari kemudian, aku dan Arif menyerahkan piala pada sekolah. Disini aku merasakan bahwa karier aku sedang naik daun. Saat dirumahpun Mama dan Papa bangga dengan prestasiku, mereka berkata akan senantiasa mendukung apapun yang aku lakukan. Di sibuk-sibuknya aku dengan sekolahku, dan bukuku yang ingin aku jadikan novel, karier baruku sebagai modelpun bergejolak. Managerku berkata bahwa majalah-majalahku laku keras dipasar utamanya foto-fotoku yang berpartner dengan kakakku sendiri. Sebagai pendatang baru di dunia entertainment, banyak sekali perusahaan yang ingin mengajakku kerjasama dalam film dan sinetronnya. Namun kedua orang tuaku membolehkanku untuk syutting film pendek saja, ya aku hanya bisa nurut saja. Berhari hari dari hari ini, aku menikmati dunia baruku, hingga tak terasa sudah banyak film yang kuperankan dan banyak sekali majalah yang menjadikanku cover girlnya. Aku bersyukur atas segala kenikmatan ini semua, meskipun aku juga lelah. Tak lupa aku tetap menerbangkan layang-layangku, meski harus menerbangkan di tempat syutting ataupun di tempat pemotretan sekalipun.
Yapz yapz, sekarang aku duduk dibangku kelas XI tepatnya di kelas XI IPA 1 bersama Arif aku ada dalam kelas ini, menimba ilmu bersama. Sebelum aku mendapatkan pelajaran dikelas ini, aku masih ada tugas istimewa yaitu menjadi kakak OSIS yang siap memberikan MOS pada junior-juniorku, terlebih lagi aku adalah ketua OSIS, dan Arif adalah wakilku. Senang rasanya melihat wajah juniorku yang masih lucu dan lugu, mungkin dulu wajahku juga seperti mereka. Hari demi hari sampai hari ketujuhpun usai, tugasku sebagai kakak OSIS untuk memberikan MOS pada adik-adik juniorpun telah usai, aku menerbangkan layang-layang seperti biasanya, dan aku bersyukur pada Tuhan bahwa segala kenikmatan entah itu pahit atau manis masih bisa aku rasakan. Hampir satu tahun aku lalui, ujian semester keempat bisa dihitung jari, namun kondisiku sedang drop. Kakakku khawatir denganku yang tengah dirawat intensif di rumah sakit Papaku bekerja. Hari-hariku tampak redup dirumah sakit ini. “Aku ingin pulang, sudah satu minggu aku disini kak, aku ingin belajar dirumah, ingin lagi bersekolah” Kataku pada kakakku, sembab aku lihat mata kakakku yang tampak tak tega melihatku “Puty akan cepat pulang, asal Puty istirahat total dulu” Kata kakakku memberikan semangat padaku. Aku hanya menangis di atas tempat tidur ini, dan kakakku dengan setianya dan sabarnya menghapus air mataku, dan terus memberiku semangat dan selalu menemaniku. Sore hari kemudian, kakakku membawakanku sebuah layangan dia ingin menerbangkan layangan ini ditaman rumah sakit. Akupun menuliskan semua uneg-unegku pada layangan ini, aku meminta pada kakakku untuk menerbangkan layangan ini sampai tinggi sekali. Tiga hari kemudian, aku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Mama, Papa, dan Kakakku sangat gembira melihatku kembali ceria seperti sediakala. Kakakku menghias kamarku seperti kamar anak TK, namun aku bahagia, karena banyak pernak pernik lucu nan mungil dan cantik berwarna biru dikamarku sekarang. Dan Mama memasakkanku nasi goreng berbentuk spongebob, sedangkan Papa membelikanku boneka sapi berwarna putih biru. Aku bahagia karena banyak yang sayang sama aku, ditengah asyiknya aku disuapin nasi goreng spesial buatan Mama, ada tamu datang. Mama segera membukakan pintu, dan ternyata kak Winda datang dengan membawa buah jeruk kesukaanku dan adiknya Arif membawa berbagai snack rasa keju dan beberapa minuman kesukaanku. “Kamu harus banyak makan dik, bair cepat pulih. Nanti kalau kamu sudah sembuh total, kakak akan bawa satu kabar bahagia untuk kamu” Kata kak Winda sedikit heboh, dan cukup membuatku berangan-anagn akan berita itu. sekilas terfikir olehku bahwa kakakku akan tunangan dengan kak Winda, “Tapi sepertinya itu mustahil Kakakku kan masih hampir 19 tahun” Benakku dalam hati dan mempermantap bahwa pikirku salah besar. Kakakku masuk kedalam kamarku dengan membawa sebuah layangan yang sudah aku tulis pesan dan uneg-unegku, ia berencana menerbangkan layangan itu bersamaku ditaman jantung kota.
Esok hari akupun sudah mulai bersekolah, kali ini berbeda dengan biasanya. Kakakku mengantarkanku pakai mobilku, aku kurang suka berkendara menggunakan mobil karena terkena macet yang lama, tapi apalah daya, kondisiku belum memungkinkan aku untuk bersepeda dan menghirup udara bebas diluar rumah. “Welcome to the grade XI IPA 1 beauty.” Kata Ciko sok childish dan sok imut padaku “Thank’s Ciko. Wah manggil aku beauty, awas kena begem Alena” Jawabku santai dan mulai menjaili Ciko, Alena yang ada disamping Cikopun segera menyodorkan kedua tangannya kedepan tubuhku, aku memeluk Alena, aku sangat merindukan sahabat-sahabatku “Aku kangen kamu Lena” Kataku sambil memeluk Alena “Gue juga kangen ama loe cantik” Kata Alena makin erat memeluk aku. Aku senang, karena teman-temanku menyambutku dengan baik meski sampai detik ini aku belum melihat Arif. Guru mata pelajaran dihari inipun tak kalah baiknya, mereka seolah mengistimewakanku, dimana ada waktu luang untukku bertanya tentang pelajaran yang sudah tertinggal hampir dua minggu lamanya. Dihari itu pula guru TU mulai membagikan kartu peserta ujian. Dag dig dug hatiku saat aku melihat kartu berwarna kuning itu, aku seolah tak merasa sanggup untuk menghadapi ujian semester keempat “Puty, loe kenapa?” Tanya Arif padaku “Enggak papa Rif” Jawabku lesu dan Arif hanya senyum kecil padaku, aku mencoba membaca pikiran Arif bahwa sebenarnya dia tahu apa yang aku rasakan, namun aku hilangkan pikiran itu dengan cepat. Bell pelajaran usaipun berbunyi, aku berjalan menuju gerbang sekolah, aku melihat belum ada jemputanku. Kakakku atau Papaku dan bahkan supirpun belum ada yang menjemputku, aku mencoba menunggu jemputanku didampingi oleh Arif yang sedang asik menikmati kue rasa kacang kesukaannya yang aku beri saat hampir pulang sekolah tadi. “Arif, kakak kamu janji akan memberi tau sesuatu padaku.” Kataku pada Arif pelan “Owh, itu. Nanti gue sampaikan ke kak Winda ya Puty” Kata Arif diiringi dengan senyuman manis dari bibir tipisnya, tak lama kemudian jemputanku datang, aku meninggalkan Arif dan masuk kedalam mobil jemputanku. “Kak, layanganku dibawakan?” Tanyaku pada kakakku “Iya” Jawab kakakku singkat tanpa embel-embel yang lainnya, akupun berkonsentrasi penuh ada apa dengan kakakku, aku merasa ia ada masalah, secepat kilat aku mengambil layanganku dan mulai menulis kejadian dihari ini. Sampai dilapangan luas, kakakku segera menerbangkan layanganku, tanpa senyum tanpa apapun itu kakak mengajakku pulang “Yuk pulang, udara disini ngga baik.” Katanya rada judes tak seperti biasanya.
Esok hari ketika pulang sekolah, kebetulan aku menemukan kakak sedang termenung sendiri di bagian samping kolam renang, akupun berusaha untuk menenangkan hatinya dan mencoba untuk membuka mulutnya untuk berbicara padaku “Kak Vano sebenernya ada problem apa?” Tanyaku pada kakakku sok kepo “Kakak ngga papa Ty, kakak lagi capek aja. Tugas kuliah full.” Sahut kakakku menutupi masalahnya, akupun tak menghiraukan mata sayu kakakku, aku mencoba mengungkit nama Winda pada pertanyaanku selanjutnya “Kak, Kak Winda mana ya? Katanya mau kasih aku kabar baik” Tanyaku yang kedua kalinya “Ilang ditelan bumi kali tu orang.” Jawab kakak rada sinis seolah ilfeel pada Kak Winda “Lho, kakak kok ngomong gitu?” Tanyaku sok polos padahal sudah mulai mengetahui ada apa sebenarnya “Sudah ya Puty, jangan lagi sebut nama dia didepan kakak. Kalau kamu mau berhubungan sama dia, kamu bisa SMS dia, telfon dia, ketemuan atau apalah.” Kata kakakku mulai terbawa emosi, dan kali ini aku menyimpulkan, bahwa mereka ada masalah, ya mungkin problem in love. “Kak, aku tau kakak lagi renggang sama kak Winda, tapi please kak don’t childish okay? Kakak ngga bole dominasi, Kalau kakak menyikapinya kaya gini, masalah bukan selesai tapi justru amburadul. Kak, kalian itu saling melengkapi sebenarnya, tapi saat ini kakak yang terlalu ego. Coba kakak perlahan memahami masalah kakak dan memecahkannya secara kepala dingin. Pasti beres.” Nasehatku pada kakakku sudah seperti penasehat cinta yang handal. Aku hanya melihat kakakku yang mungkin melumat perkataanku, lalu aku meninggalkan kakakku di pinggir kolam sendiri saja supaya ia lebih berkonsentrasi tentang ucapanku. Aku keluar mencari pak Otto supirku untuk membantuku menerbangkan layanganku.
Lima hari berlalu, hari ini aku menghadapi ujian semester keempat. Ketika hendak berangkat sekolah dag dig dug hatiku tak karuan, Mama dan Papa mencium pipi kanan dan kiriku memberi semangat, aku mulai yakin bahwa aku bisa. Saat didepan gerbang sekolah sebelum aku turun dari mobil, kakak memberiku semangat luar biasa “Puty kamu cantik, kamu pintar, kamu tegar, kamu kuat, kamu bisa. Kamu harus yakin kamu bisa” Kata kakakku sambil mencium keningku di akhir segmen tutur katanya, aku semakin yakin bahwa aku bisa. Ketika hampir didepan ruang ujian Arif menyoraki aku “Wow, sang bintang kelas sekaligus bintang model datang sumringah nih” Kata Arif rada heboh “Aku dapat tiga kecupan, makanya aku sumringah” Kataku blak-blakan pada Arif yang sudah aku anggap sahabatku. “Puty, loe yakin siap ujian hari ini?” Tanya Alena penasaran “Aku sih kurang yakin, tapi aku optimis” Sahutku optimis kelas dewa pada Alena “Loe kira-kira juara kelas and sekolah lagi nggak ya? Sory nih, soalnya loe kan lagi kumat-kumatan” Kata Ciko sambil ketawa kecil rada ngeledek “Itu dia yang bikin aku ngga yakin, tapi ya sudahlah. Mau gimana lagi? Yang penting aku berfikir positif dan optimis pasti mendapat hasil terbaik” Sahutku bernada pasrah seraya meghirup nafas dalam dalam dan menghembuskan relax. Dalam mengerjakan soal ujian pada hari ini, kepala aku terasa pusing namun aku memberi sugesti pada diriku sendiri, bahwa aku bisa seperti kata kakakku “Aku cantik, aku pintar, aku tegar, aku kuat, aku bisa. Aku harus yakin aku bisa”. Tak lama kemudian aku sukses mengerjakan ke limapuluh butir soal ujian dihari ini. Dan aku berharap aku bisa seperti ini pada hari dan ujian di mata pelajaran berikutnya.
Hampir dua minggu kemudian, hasil ujian keluar satu persatu. Aku bersyukur pada Tuhan, bahwa tak ada satupun nilaiku dibawah 8,00. Aku bangga dengan diriku sendiri dan aku ingin mempersembahkan ini semua pada kedua orang tuaku dan utamanya pada Kak Vano penginspirasi hidupku. “Puty, nilai gue memang ngga ada yang dibawah KKM. Tapi nilai loe jauh di atas KKM. Padahal gw sudah menganut sistem belajar loe (Study Hard but Enjoy)” Kata Arif padaku dengan gayanya mengoyak oyak rambutnya sendiri. “Sabar Arif itu semua butuh proses, by the way nilai kamu jauh lebih baik lho dari pada semester tiga kemarin.” Kataku membanggakan Arif agar ia tak putus harapan. Arif yang masih tetap saja melihat hasil nilainya dengan senyum-senyum sendiri aku tinggal pergi pulang, karena mobil jemputanku sudah datang. Sesampainya dirumah karena hanya ada kakakku, aku memperlihatkan hasil ujianku padanya. Kakakku tersenyum bahagia dan senang melihat hasil ujianku “Nah, ini baru adik kakak yang siip. Semangat belajarnya tinggi dan selalu berfikir optimis.” Kata kakakku terlihat bangga pada hasil ujianku. “Kak, andai aku dapat juara paralel lagi. Kakak mau ngga kabulin permintaanku?” tanyaku sedikit ketakutan “Everything” kata kakakku santai dan tersenyum padaku “Aku mau kakak balikan sama kak Winda. Please” Pintaku benar-benar memohon pada kakakku “Kamu tau darimana kalau kakak putus?” Tanya kakaku terheran-heran karena  memang sebelumnya ia tidak pernah memberitahuku tentang hubungannya dengan kak Winda. “Aku tau dari kemampuan anehku kak.” Kataku sedikit tertunduk dan takut “Puty, dengar kakak. Itu bukan kemampuan aneh, tapi itu kelebihan kamu. Kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain, termasuk kakak.” Kata kakakku menasehatiku yang sering minder karena dibilang aneh sama kebanyakan orang. “Terus gimana kak? Kakak mau ya??” Tanyaku sekali lagi pada kakakku dan tidak menghiraukan nasehat kak Vano “Sebenernya, kakak memang mau ajak Winda balikan abis masih cinta, tapi belum pas aja waktunya. Dia lagi sibuk. Gini aja deh, kalau kamu jadi bintang sekolah lagi kakak akan jadian untuk yang kedua kalinya sama Winda, tapi kalau ngga jadi bintang sekolah lagi, ya apa kata kakak selanjutnya” Kata kakakku meyakinkanku, dan membuatku percaya dan yakin bahwa mereka pasti bisa bersatu kembali.
Hari yang menegangkan tiba, tepat dihari sabtu. Nilai hasil belajarpun dibagikan, aku berharap-harap cemas dengan nilaiku. Ada Mama, Papa, dan juga Kak Vano yang mendampingiku mengambil nilai hasil belajar. Mama dan Papa masuk kedalam aula sekolah, sedangkan aku dan Kak Vano menunggu mereka diluar. Keringat dinginku mulai bercucuran tak jelas, kak Vano memegang erat tanganku dan memberiku sugesti jiwa positif. Detik demi detik berlalu kedua orang tuaku keluar dari ruang aula paling awal. Dengan sebuah buku berwarna abu-abu yang tak lain adalah raport “Ma, Pa. Gimana nilaiku?” tanyaku pada Mama dan Papa “Puty peringkat parelel urutan pertama lagi, tapi nilai Puty sedikit merosot” kata Papaku menjelaskan dan aku hanya bisa pasrah dengan nilai yang aku dapatkan, aku juga merasa kecewa karena ini semua harus terjadi. Namun aku sadar bahwa aku tidak bisa menyalahkan jalan hidupku yang telah diberi oleh Tuhan. Didalam mobil aku hanya terdiam membisu, meski kakakku sudah memberiku setangkai mawar putih. Sesampainya dirumahpun aku hanya terdiam seraya membuka-buka majalah hasil pemotretan kemarin sore “Argh, kenapa aku jadi bad mood begini?” Gumamku dalam hati, ketika aku sedang menggumam kakakku datang dengan membawakanku jus wortel “Puty kenapa? Kok diam terus? Kelihatan kalau moodnya berantakan akut.” Kata kakakku dengan kekhasannya “Mama Papa kecewa ngga ya kak? Secara nilaiku merosot.” Jawabku sekaligus balik tanya pada kakakku “Tentu ngga dong, mereka tau sikon kamu waktu ujian semester kemarin” Jawab kakakku semakin kalem, dan aku hanya bisa menghela nafas. Tak lama kemudian Papa dan Mama datang menghampiriku dan Kak Vano, mereka mengajak aku dan kak Vano untuk menerbangkan layang-layang. Aku bahagia karena ternyata kedua orang tuaku tidak sedikitpun kecewa padaku.
Hari ini, hari pertama aku libur sekolah. Kakakku juga sedang tidak ada jam kuliah, kakak mengajakku bersepeda ke rumah kontrakan kak Winda. “Lho Puty, Kak Vano. Wah tumben nih.” Kata Arif rada terkejut saat melihat aku dan Kak Vano datang ke rumah kontrakannya, dan tampak Arif hendak bersepeda pula. Akhirnya aku dan Arif memutuskan untuk bersepeda berdua keliling taman kota dan meninggalkan Kak Vano dan Kak Winda yang asyik bermesraan. “Arif, aku pikir kamu disini tinggal bersama keluarga kamu.” Kata ku pada Arif karena sebelumnya memang tidak tau apa-apa tentangnya. “Gue sebenernya ngga mau sekolah disini, karena gue ninggalin kota kelahiran gue Bogor. Tapi gue kasian sama Kak Winda ngga ada yang ngejagain.” Jawab Arif mulai menjelaskan mengapa ia bisa berada di Jakarta. “O gitu. Terus orang tua kamu dimana?” Tanyaku pada Arif “Orang tua ada di Kalimantan, baru tiga tahun mereka di sana. Mereka disuruh mengurus perusahaan kakek yang ada disana. karena kakek sudah tua. Perusahaan mereka yang ada di Bogor di urus Om” Kata Arif menjelaskan. “Oh gitu, terus rumah di Bogor gimana?” Tanyaku pada Arif benar-benar ingin tau. “Ada dua pembantu rumah tangga, satu pak kebun, dan dua satpam yang tinggal disana mengurus rumah.” Jelas Arif dan aku hanya menganggukakn kepala saja dan mulai faham. “Oiya selamat ya, loe peringkat paralel pertama lagi.” Kata Arif memberi ucapan selamat padaku. “Thank’s. Kamu juga selamat ya peringkat kamu jadi naik ke paralel ketiga.” Kataku pada Arif dan kitapun melanjutkan bersepeda, hingga tak terasa dua jam telah berlalu, akhirnya aku dan Arif memutuskan untuk kembali ke rumah kontrakan Arif. Sesampainya di rumah kontrakan yang cukup mewah itu, aku dan Arif tersenyum bahagia melihat kedua remaja beranjak dewasa sedang bermesraan di area taman rumah, namun aku terpaksa harus mengacaukan kemesraan mereka “Kak pulang yuk.” Ajakku pada kakakku. “Lho, keburu banget sih? Jangan dulu dong, kita makan bersama dulu. Masakan spesial untuk Puty dan Arif nih, yang masakin kakak berdua lho.” Kata kak Winda dengan ramahnya, dan akhirnya kita berempat menyantap sarapan bersama. “Kak Vano, sudah ngajak kakak gue yang paling manja ini balikan belum?” tanya Arif pada kak Vano dan sukses membuat kak Vano nyaris tersedak “Rahasia dong.” Kata Kak Vano sok judes disusul tawa lepas kita berempat di meja makan berbentuk lonjong. Setelah selesai sarapan nasi goreng spesial ala Kak Vano dan Kak Winda, kita berempat duduk santai di pinggir kolam renang rumah kontrakan Kak Winda dan Arif. Aku dan kak Winda saling sharring begitu pula dengan Arif dan kakakku. Setelah semua selesai aku dan Kak Vano pulang ke rumah. Kak Vano mengajakku menuliskan pesan layang-layang, namun kali ini berbeda, karena kak Vano menyuruhku menulisnya di layangan berbentuk kupu-kupu buatan kak Vano, tak sampai setengah jam layangan berbentuk kupu-kupu itu siap di terbangkan. “Terimakasih Tuhan Engkau anugerahkan kakak yang senantiasa menyayangi aku” gumamku dalam hati sambil melihat kak Vano yang tengah tersenyum manis melepas layangan cantik itu.
Esok hari kemudian Ciko dan Alena datang kerumahku, mereka mengajakku menonton film terbaru di bioskop yang tak jauh dari rumah Arif. Merekapun berencana mengajak Arif untuk nonton bareng di bioskop agar ramai dan seru. Setelah sekian kali aku mencoba menghubungi Arif tidak sekalipun ia mengangkat telfonku, akhirnya Ciko mencoba untuk menolfon Arif dan kali ini nomer Arif tidak aktiv. Tak putus akal di tengah pemikiran, aku bergegas menelfon kak Winda, kak Winda berkata padaku Arif belum bangun tidur karena lelah perform bandnya semalam. Entah ada apa sebenarnya, tapi aku merasa ada yang ganjil pada Arif dan kak Winda, tapi aku berusaha cuek bebek pada masalah ini. Dan akupun menikmati hari-hari ini. Dimalam kelabu saat aku asyik membaca buku kedokteran milik Kak Vano, dikejutkan aku pada bell tanda ada tamu datang. Segera aku membukakan pintu untuk tamu itu, dan tampak Kak Winda dengan wanita sekitar berusia 22 tahun bertamu kerumahku, dan akupun menyuruh mereka masuk kedalam rumah. “Puty, kenalin dulu dong. Ini sepupu kakak namanya Kak Vibra.” Kata kak Winda mengenalkan sepupunya padaku. Akupun berkenalan padanya, dan kita saling berinteraksi baik. “Puty, kata Winda lu bakat nulis cerita sama puisi ya?” kata kak Vibra mengejutkan aku. “Darimana kak Winda tau?” Tanyaku pada kak Winda dan  mengacuhkan pertanyaan Kak Vibra. “Tau dari Vano. Dia sering cerita ke kakak kalau kamu itu hobby banget nulis and tulisan kamu itu berbobot. Dan kamu berharap bahwa tulisan kamu dapat dinikmati oleh semua orang. Utamanya sahabat kamu di Bandung” Kata kak Winda cukup menjelaskan panjang padaku. “Iya sih kak, itu memang benar, tapi aku masih cari editor.” Jawabku sedikit hopeless karena tak kunjung mendapatkan editor. “Maka dari itu Winda ajak aku kesini. Aku seorang editor cerpen maupun novel. Bisa aku baca beberapa tulisan kamu?” Tanya kak Vibra padaku, dan membuat aku sumringah dan berharap bahwa ia bisa menjadi editor dari setiap tulisanku. Setelah beberapa menit Kak Vibra memilih, akhirnya dia membawa tiga cerpen dan satu novelku. Ia berkata padaku akan mencoba mengedit dan mencari penerbit untuk cerpen dan novelku. Aku cukup bahagia pada hari ini, aku tersenyum sendiri didepan televisi hingga membuat kak Vano menduga bahwa aku sedang jatuh cinta dan dia sukses membuat aku malu karena jailnya menggojloki aku. Di malam kelam nan dinginpun kak Vano bersedia menerbangkan layanganku, sungguh kakak yang baik.
Satu minggu berlalu, kak Vibra menghubungi aku bahwa ketiga cerpenku dimuat pada tiga majalah yang berbeda dan akan diterbitkan esok hari, aku sangat bahagia mendengar berita dari kak Vibra. Aku bertingkah seperti anak kecil yang baru di belikan balon oleh ibunya. Aku mengatakan hal ini pada Mama Papa dan kakakku, mereka mengatakan tidak percaya sebelum ada bukti yang nyata. Sehingga aku harus berupaya membuat mereka percaya, tentu saja aku berfikir esok hari aku harus mencari tabloid dimana cerpenku dimuat. Esok hari aku siap untuk membeli tabloid yang memuat cerpenku, tanpa didampingi oleh kakakku aku datang ke tempat penjualan majalah akupun membeli ketiga majalah itu, dengan bangganya aku membawa majalah itu kehadapan orang tuaku yang tengah asyik menikmati teh hangat karena sedang libur bekerja. “Mama, Papa ini cerpen-cerpen aku.” Kataku bangga dan heboh pada kedua orang tuaku, dan mereka tersenyum membaca cerpenku yang berkisah tentang kakakku Vano dan sahabat-sahabatku yang ada di Bandung. Mama dan Papa memberiku hadiah untuk bernostalgia ke Bandung menemui dan berindu ria bersama sahabat-sahabatku, tanpa fikir panjang akupun mau untuk berlibur ke Bandung. Sesampainya di Bandung aku disapa riang dengan sahabat-sahabatku, aku menghitung jumlah mereka dan ternyata kurang satu orang dari para sahabatku “Lho, kok kurang satu? Mana Fikar?” Tanyaku pada ke lima sahabatku “Fikar.. Fikar..” Kata salah satu sahabatku tampak gugup. “Iya, Fikar. Yang sering kasih aku setangkai mawar putih itu.” Kataku memantapkan perkataan. “Dia, sudah ngga ada Puty, dia meninggal sudah hampir lima bulan ini.” Kata sahabatku mulai sayu lembab matanya, aku hanya bisa terdiam terpaku, hopeless dan speechless itulah yang ada di jiwaku usai mendengar perkataan mereka, tetesan air matapun kian membasahi pipiku. Tak aku sangka, dia sahabatku sudah pergi meninggalkanku dan sahabat yang lainnya, padahal niatan aku ingin mempersembahkan cerpenku yang sudah termuat di media cetak, seperti do’a Fikar dua tahun yang lalu sebelum akhirnya aku pindah ke Ibu Kota Jakarta. Tanpa fikir panjang aku mengunjungi makamnya dengan membawakannya setangkai mawar merah dan amplop berisikan puisi perpisahan, aku sangat menyesal karena terlambat mengetahui kepergiannya, aku menangis di atas batu nisannya dan semua sahabatkupun menenangkan aku, dan mencoba untuk menghiburku. Namun aku rasa itu semua sia-sia. Aku tetap merasa bersalah dan kecewa pada diriku sendiri karena telat mengetahui peristiwa ini. Sore hari telah tiba kedua orang tuaku mengajakku untuk kembali ke Jakarta, selama di perjalanan aku terdiam terpaku merasa bersalah karena tidak mengetahui kepergian sahabatku dan tidak bisa disampingnya ketika ia telah berada di pengujung hidupnya. Sesampainya dirumah kakakku membaca cerpenku yang termuat di majalah dan memberiku selamat “Eh, cerpenis cantik sudah datang. Selamat ya Puty. Kamu itu memang the best.” Katanya dengan senyuman manis, namun aku justru meneteskan air mata dan memeluk kakakku dengan eratnya. “Puty kenapa?” Kata kakakku panik, dan akhirnya aku menceritakan apa yang terjadi pada Fikar. Kakakku merasa sedih juga karena kepergian Fikar, bagaimana tidak kakakku sangat berhutang jasa pada Fikar, Fikar yang mengajari kakakku bermain gitar saat kakakku masih duduk di kelas satu SMP dulu. Hari ini tidak hanya aku, namun kakakku pun ikut menerbangkan layang-layang berpesan.
Hari libur telah berlalu tentunya hari ini hari pertama masuk sekolah setelah dua minggu berlibur. Kelas baru, bangku baru, guru baru, semangat baru, de-el-el yang berbau baru. Aku menunggu ke tiga sahabat terbaikku, Ciko dan Alena telah tiba di kelas dan memilih duduk di bangku nomer tiga tepatnya di belakangku, kita bertiga menunggu Arif yang tak kunjung datang. “Ariiif.” Kataku heboh pada Arif karena lama tak jumpa “Hey, cerpenis. hahaha” balas sapa Arif sambil ketawa. “Eh lu kemana aja Rif? Dua minggu liburan ngga ada kabar.” Tanya Ciko penasaran penuh “Sory guys, gua ke Bali belajar berwirausaha sekalian mendalami ilmu seni lukis. Band gue ada job, so gue harus performance di Bali.” Jelas Arif singkat namun padat dan sangat jelas. “Wah, kecantol bule dong lu Rif?” Ledek Alena sambil cengingisan “Wah, bahaya nih orang. Ya nggak lah. Gua itu suka yangg real Indonesia.” Kata Arif seolah membanggakan Indonesia, tak lama wali kelas XII-IPA 1 datang memberi penjelasan dan menentukan stuktur kelas. Hari ini disekolah berlalu dengan cepat, jam sekolah telah usai, kali ini berbeda, tidak seperti hari-hari biasanya yang selalu di antar Papa atau Kakak ataupun supir pribadi. “Wah, cerpenis kita bawa motor sendiri. Tumben, motor baru ni ye!” Kata Arif dengan nada sok coolnya “Ahh, kamu bisa aja Rif. Ini di hadiahin sama Kak Vano. Bagus ya, kamu ngga punya yang kaya begini.” Sanggaku akan kata-kata Arif sekaligus sok ngeledek dia “Eh, ya jelas gua ngga punya motor gituan, itu matic and cewe banget, sedangkan gua cowo Puty yang cantiiiiik.” Jawab Arif sok kesal sambil mengoyak-oyak rambutku. “Ih, kamu kebiasaan deh ngerusak rambut aku.” Kataku dengan nada rada ngambul, dan Arif hanya tertawa bebas, ia sudah hafal sifatku yang sok marah padanya. Aku pulang menikmati padatnya kota ini, dan banyak asap kendaraan bermotor yang berlalu lalang di kota metropolitan dan gedung gedung tinggi yang menyelimuti permukaan bumi. Terhenti aku pada sebuah taman yang tampak asri, aku berniat untuk menerbangkan layang-layangku disini. Layang-layangku sudah terlepas bebas jauh entah kemana, yang aku harapkan ketika menerbangkan layangan adalah bisa kembali menyejukan fikiranku. Ketika sampai dirumah, aku merasa hampa sekali, tanpa Mama Papa dan Kakak. Hanya ada pembantu rumah tangga di rumah, satpam dan supir. Mama Papa pergi ke luar kota di Jawa Tengah adanya undangan dari kerabatnya sedangkan kak Vano sibuk dengan skripsinya. Malam hari kemudian aku mendengar suara bising motor kakakku, aku melihatnya dari lantai dua kamarku untuk memastikan bahwa ia benar-benar datang. Senyuman kecil aku tampakkan saat melihat kakakku yang dengan gaya coolnya berjalan menuju pintu masuk rumah. Entah apa yang ada difikiranku, aku justru berpura-pura tidur dan merasa malas untuk menyambutnya. “Grek” suara pintu kamarku terbuka keras “Lho Puty kok sudah tidur? Padahal masih setengah sembilan. Mungkin dia capek.” Kata kakakku bernada lirih ketika menengokku ke kamar dan membenahi selimut yang aku kenakan dan mencium keningku. Ketika kakakku keluar kamar, aku membuka mata dan menghirup nafas dalam-dalam “Aku sayang kamu kak Vano. Kamu satu-satunya kakak terbaik yang aku punya.” Kataku lirih sambil memegang figura fotoku dan kak Vano. Aku turun ke bawah dan melihat kak Vano duduk dimeja makan tercengang membaca buku “Kak, ngga makan?” Kataku lirih dari belakang seraya memegang pundaknya “Kakak tadi makan di restaurant kesukaanmu. Puty kok turun? Tidur lagi sana.” Jawab kakakku dengan nada khasnya “Puty pingin makan martabak mini rasa caramel keju.” Kataku tanpa dosa pada kakakku yang masih terlihat lelah. “Owh, itu. Yuk kakak anter.” Kata kakakku dengan senyuman manisnya dan senantiasa mengantarkanku.
Sarapan pagi yang membosankan, aku hanya menatap makanan-makanan yang ada di meja makan “Put, sarapan dong. Nanti sakit lagi.” Kata kakakku kebapak-bapakan “Males ah kak, ngga ada krupuknya.” Kataku childish dan kakakku menertawakanku. Akhirnya aku berangkat sekolah dengan motor baruku, sesampainya disekolah aku menyantap batagor ikan khas Bandung kesukaanku. Aku tidak tau mengapa hari ini terasa berbeda, jauh lebih buruk dari hari-hari sebelumnya. “Sepertinya aku kehilangan semangat hidupku.” Benakku dalam hati terkecil, namun aku tetap mencoba riang dan tersenyum seperti hari-hari biasanya. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menhembuskannya dengan mengucapkan sugesti bagi diri aku sendiri. Bagaikan hal-hal magic yang tak pernah ada orang yang tau, tiba-tiba semua terasa berubah, semua menjadi ramai, suka riang, dan penuh tawa kegembiraan remaja SMA. Aku melongo dan tercengang bingung namun mencoba untuk menyesuaikan diri. “Ya, inilah mood yang seharusnya ada sejak tadi malam.” Benakku dalam hati riangku mengiringi langkahan kakiku masuk kedalam kelas XII-IPA 1 yang tak lain adalah kelasku. Senyuman manis dari semua teman-temanku terpancar berbinar dan sapaan dari beberapa teman sekelaskupun kian menyambar telingaku tak tanggung-tanggung, aku yang sedang berdiri di bawah soundpun tersambar karena nyaringnya. Waktu istirahat tiba, saat yang paling tepat untuk menulis beberapa baris inspirasi yang menyambar otakku, perlahan akupun merangkai kata-kata dan mulai untuk menulisnya. Sejenak aku berhenti menulis nyaris kehilangan inspirasi karena suara drum dari ruang musik terdengar amat keras hingga kelasku, tanpa aku berfikir panjang, akupun berjalan menuju ruang musik itu, aku melihat Arif yang sedang asik bermain gitar dan bernyanyi sebuah lagu. Akupun menghampiri Arif dan duduk dibelakangnya dengan menyanyikan lagu itu pula hingga syairnya selesai “Eh lu Put.” Kata Arif terkejut akut saat membalikan badan ke hadapanku, akupun hanya tersenyum malu, entah setan apa yang masuk kedalam jiwaku sampai-sampai aku berani mengeluarkan suaraku untuk bernyanyi bersama Arif. “Gila suara lu kece banget.” Kata Arif memuji “Hust, jangan ngeledek gitu deh, suara aku jelek tauk.” Kataku tersipu malu “Tapi beneran gua ngga bohong, tanya aja ama anak-anak yang lainnya.” Kata Arif sedikit ngotot karena aku tidak percaya “Iya Put bagus kok, lu masuk ke group band kita aja.” Kata Dani mengajakku, “Bener Put, kita butuh vocalis cewe.” Kata Panji lebih mengharap, akupun melihat wajah teman-temanku yang penuh harapan aku akan berkata “YA”, utamanya wajah Panji. Dan akhirnya aku menyanggupi kemauan mereka. Kitapun akhirnya berlatih untuk yang pertama kali bagi aku, dan entah yang keberapa kali untuk kawan bandku. Tak terasa dua puluh menit telah berlalu, aku dan teman bandku kembali kekelas masing-masing dan mengikuti pelajaran selanjutnya. “Put ntar pulang sekolah latihan lagi, terus besok sore juga latihan and lusa kita performance.” Kata Arif menjelaskan padaku saat guru mata pelajaran belum masuk kelas. “What? Kamu serius? Aku ngga ikut performance ya!” Kataku dengan nada tanpa dosa setitikpun. “Lho kenapa Put? Suara lu itu uda oke banget and kita partner vocalis dalam band ini.” Kata Arif yang semula melongo mulai meyakinkan aku untuk mengikuti performance dua hari lagi “Ya, aku belum siap Arif. Kita performance dimana?” sanggahku sekaligus bertanya tempat performance pada Arif “Gua yakin lu siap. Disekolah aja kok, acara pembukaan HUT sekolah kita yang ke 81 tahun. Please” Kata Arif benar-benar memohon dan aku hanya menjawab setuju namun hanya dengan kata isyarat saja. Pulang sekolahpun kami latihan di tempat yang sama, begitu seterusnya hingga esok hari. Setiap pulang latihan band, aku selalu mengajak Arif untuk menerbangkan layanganku jauh ke angkasa.
Pagi hari sekitar pukul setengah delapan, aku dengan santainya membaca comic didepan televisi “Lho, Adik ngga sekolah?” Tanya Papa padaku “Sekolah Pa, tapi ntar jam delapan.” Jawabku singkat, dan sangat santai “Kok jam delapan Put?” Tanya kak Vano yang berdiri cool disamping Papa menggunakan kemeja putih berjas abu-abu “Ih, kakak cakep banget, udah kaya dokter aja mau kemana?” Tanyaku ber-ekspresi melting tanpa memperdulikan pertanyaan kak Vano “Ikut Mama Papa kesekolah Puty, kita kan di undang ke acara pembukaan HUT sekolah Puty.” Kata Kak Vano menjelaskan padaku, dan Mama mengajakku berangkat bersama kesekolah namun aku menolak karena hendak berangkat bersama Arif. Mama Papa dan Kak Vano berangkat mendahuluiku, dan tak lama dari itu Arif datang menjemputku dengan mobil mewahnya berwarna putih yang tampak kinclong bersinar. Dalam perjalanan aku merasa dag dig dug, hingga akhirnya aku yang selalu heboh hanya bisa terdiam membisu didalam mobil mewah milik Arif “Kenapa Put?” Tanya Arif padaku “Demam panggung.” Jawabku melongo tanpa dosa, yang sukses membuat Arif tertawa terbahak-bahak dalam mobilnya. Ketika sampai disekolah tepatnya di samping panggung, aku melihat kedua orang tuaku dan kakakku duduk di deretang paling depan bersamaan dengan orang tua wali murid yang lainnya menikmati acara pembukaan HUT sekolahku yang ke 81 tahun. Acara demi acara telah dimulai dan kini puncak pembukaan HUT SMA Negeri Unggulan, tentunya bandku tampil dihadapan semua orang yang hadir pada acara ini. Ketika nama bandkupun di panggil terasa detak jantungku bagaikan gendang yang mau perang. Terlebih lagi kedua orang tuaku dan kakakku tidak mengetahui bahwa aku masuk group band sekolahku yang juga sudah indie Jakarta ini, karena aku belum siap memberitaukan pada mereka, aku takut mereka marah padaku karena hampir semua kegiatan aku ikuti. Dari atas panggung aku melihat kakakku dan kedua orang tuaku saling bercakap-cakap rada membisik-bisik dan sesekali melihatku yang hendak performance. Sementara waktu demi kelancaran performance group bandku, aku mencoba taklukkan semua rasa grogi yang ada dan mengabaikan kakakku serta kedua orang tuaku yang makin menjadi-jadi saat melihatku di atas panggung. Setelah selesai performance, tepuk tangan meriah diiringi sorakan dari teman-temanku tampak cetar membahana. Setelah turun dari panggung, aku menghampiri kedua orang tuaku dan kakakku dengan wajah nyengir, tampak aneh raut wajah mereka ketika aku menghampirinya “Gila, keren banget suara kamu Puty. Band kamu kece juga.” Kata kakakku heboh dan sukses membuat aku tercengang “Puty kok ngga bilang sama mama papa kalau ikut ngeband?” Kata Papaku bernada sabar dan khas “Puty takut ngga disetujuin Pa.” Jawabku bernada polos “Ya, tentu disetujuin selagi itu kegiatan yang bernilai positiv.” Kata Mama memberiku semangat tinggi dan menyejukkan hatiku. Aku bahagia dengan keputusan kedua orang tuaku yang senantiasa memberiku dukungan penuh. Ketika acara usai aku dan keluargaku meninggalkan area sekolah, kita pulang bersama dengan perasaanku yang sumringah bahagia. Mama dan Papaku mengajak aku dan kak Vano untuk makan ice cream di depot ice cream langganan keluarga jauh dari pusat kota. Setelah menikmati ice cream favorite masing-masing, aku mengajak kakakku menerbangkan layangan di area taman depot ice cream. Bahagia sungguh yang aku rasa di hari ini, semua terasa sempurna dalam hidupku.
Waktu bergulir begitu cepat, semua perjalanan hidupku terangkai menjadi satu di memori otakku dan buku-buku diaryku ini. Aku lihat sosok Mama dan Papa yang makin hari makin sibuk saja, dan melihat kakakku yang hanya santai saja menunggu wisuda dan sumpah jabatan dari kampusnya dengan mengisi waktu luang dengan kesibukannya syuting sinetron, pemotretan, dan ngeband. Akupun tak mau kalah dengan mereka semua, aku juga memiliki kesibukan tersendiri, dimana karier aku makin kian melunjak melilit sedangkan ujian nasionalpun sudah di depan mata. Ya ya ya, sebentar lagi ujian nasional, sedangkan aku sedang ada kontrak syuting sebuah film pendek, jujur aku merasa bingung dan lelah dengan semua ini. Aku tidak mau mengecewakan orang tuaku karena takut nilaiku anjlok cuma gara-gara terlalu mementingkan karier. Disisi lain akupun senang menitih karierku saat ini, karena bagi aku ini bakat terpendamku selama ini yang akhirnya terungkap. Lelah letih yang aku rasa setiap hari. Berada dihadapan buku dengan pandangan kosong adalah hobi baruku ketika sedang merasa lelah “Puty kok bengong? Nanti ilmunya di patok ayam tetangga lho” Kata kakakku ngeledek “Iiih kakak aneh-aneh aja deh. Aku capek kaaaak.” Sanggahku dengan nada manja “Ya, itu sudah resiko cantik! Kalau mau sukses ya harus payah terlebih dahulu.” Kata kakakku dengan menyoyak oyak rambutku, dan aku hanya bisa diam menatap buku-bukuku yang terjabar rata di meja ruang tengah. Tugas makin sedikit namun berbagai ujian kian marak beredar di sekitarku, mulai dari ulangan harian, try out sekolah, try out kabupaten, try out nasional, ujian praktikum, ujian ini dan itu yang akhirnya mengantarkanku ke ujian nasional. “Kak, aku pengen cepet-cepet ujian nasional terus lulus.” Kataku dengan nada pasrah. “Dulu kakak juga begitu kok Put, lelah rasanya. Tapi itu semua ada nikmat tersendiri.” Kata kakakku menjelaskan sok kebapak-bapakan “Kak, kuliah itu capek ngga??” Tanyaku ingin tau dunia kampus “Ya tergantung, kalau kamu bikin ruwet capek itu pasti. Tapi kalau kamu bikin happy kaya kakak selama ini, kamu pasti have fun.” Kata kak Vano menjawab pertanyaanku, dan aku hanya mengangguk-angguk dan meresapi penjelasan dari kakakku. Sore hari ini memang terasa berbeda, aku merasa ada aura positif yang kian kali mencoba untuk masuk kedalam jiwaku, namun aura negatif yang sudah ada di dalam jiwaku seolah-olah menolak. Kakakku sangat mengerti dengan keadaanku sekarang karena mungkin ia sudah pernah mengalaminya, aku yang sedang sibuk memahami biologi untuk bahan ulangan harian esok ditinggalnya pergi entah kemana, akupun tak mau tau urusan kakakku, pusing dan bingung, itu kata yang ada di otakku sekarang. Hampir setengah jam berlalu, makin kian semburat saja fikiranku, hembusan nafas panjang keluar lepas bebas dari alat pernafasanku “Wah wah, kaya dokter spesialis bedah yang abis jalanin tindakan operasi aja.” Ledek kakakku berdiri disampingku yang setelah setengah jam meninggalkanku sendiri di ruang tengah. “Ahh kakak ngeledek terus.” Jawabku moody pada kakakku “Eh bad mood ya.” Kata kakakku ngejailin aku sambil menyentil hidungku, aku hanya terdiam saja tanpa menghiraukan kata-kata kakakku dan makin marak megeluarkan wajah bad mood seramku, tak lama dari itu sodoran permen karet rasa mint dan coklat hitam bentuk boneka anak beruang berada didepan wajahku. “Coklaaaat.” Kataku girang seperti anak kecil, akupun menyambarnya secepat kilat dari tangan kakakku dan segera melahapnya, terasa tenang dan relax ketika aku memakan coklat pada gigitan pertama “Lumer dimulut.” Kataku dengan memejamkan mata seolah sangat menikmati dark chocolate pemberian kakakku, dan terdengar cekiki’an seseorang disampingku yang tak lain ialah kak Vano. Dengan senyumannya yang manis ia melihatku bahagia “Ternyata dari tadi itu kamu butuh dark chocolate.” Katanya sambil tertawa kecil, dan aku hanya mengangguk-anggukan kepala saja sambil tetap melanjutkan menikmati coklat hitam pemberian kakakku. “Kenapa kaga bilang coba?” Kata kak Vano yang senantiasa diiringi dengan cekiki’annya “Abisan kak, aku bingung.” Kak Vano hanya tersenyum dan mengoyak-oyak rambutku, setelah itu dia meninggalkanku sendiri diruang tengah. “Tlilililililiiiiiiit.....” suara telpon rumah berdering, aku acuh tak acuh pada nada telpon rumah yang makin keras saja, akhirnya kakakku mengangkat telfon “Puty, ada telfon dari kak Vibra.” Kata kakakku memanggilku, dan aku segera menyerbu ganggang telfon yang di pegang kakakku. “Yeeeeeeeeeeees......” Kataku kegirangan seraya melonjak beberapa sentimeter dari lantai setelah menutup telfon dari kak Vibra, dan akhirnya menggaruk-garukan kepala karena malu dilihatin kak Vano yang berdiri di samping guci kesayangan Mama. “Idih, napa nih adik kakak??” kata kakakku sok manis sambil berjalan mendekatiku yang masih berdiri didepan telfon rumah “Adaaaaa ajaaaaa. Lihat saja dua sampai tiga hari kedepan.” Kataku sok main rahasia pada kakakku, dan akhirnya aku meninggalkan kakakku yang asyik tercengang didepan telfon rumah begitu saja. Waktu mengalir begitu deras, tak lama dari itu buku novel pertama aku berjudul “KAKAKKU NAFASKU.” Bisa diterbitkan dan hanya cukup tiga hari dari hari diterbitkannya novel pertamaku, novel itu sudah sukses terjual ratusan copy, disini novelku menceritakan tentang kakakku yang selalu menjadi sebagian dari nafas hidupku, entah mengapa aku sangat semangat jika melihat kakakku tersenyum. Ya mungkin selama ini hanya dia yang bisa mengerti aku, dan tau segalanya tentang aku. Karena kesuksesan novelku, aku mengucap syukur dengan mengajak seluruh anak panti asuhan yayasan keluarga yang ada di Kota Bandung, dan para sahabat-sahabatku untuk menerbangkan layangan berpesan bersama-sama. Dan pada pelepasan layangan kali ini berbeda, dimana pada hari-hari biasanya layangan ini putus dan terbang bebas karena digunting, kali ini karena di adu oleh layangan yang lainnya. Barang siapa layangannya putus duluan bisa dapat novel pertamaku lengkap beserta tanda tangannya.
Satu minggu dari hari yang lalu, aku menghadiri wisuda dan sumpah jabatan di kampus kakakku menimba ilmu, tentunya aku meliburkan diri dari sekolah. “Sayang rasanya meninggalkan pelajaran sekolah, tapi mau bagaimana lagi?? Kakak tunggal. Dan dia nafasku.” Kata-kata itulah yang ada dalam benak dan fikiranku. Sebelum acara dimulai potret demi potret dari camera kesayanganku hadiah dari papa saat ultahku yang ke 15 tahun lalu, sukses mengambil gambar kak Vano, dan kawan-kawannya yang super duper cakep and cantik. Akhirnya prosesi demi prosesi telah terlampaui, dan kini adalah waktu yang di tunggu-tunggu oleh semua orang, baik para hadirin dan para mahasiswa ataupun mahasiswi, karena penentuan satu mahasiswa ataupun mahasiswi yang mendapat nilai terbaik di kampus akan di beri beasiswa untuk melanjut study S2 di Paris gratis sampai tuntas. Dag dig dug rasa di jantungku, aku berharap bahwa kakakku yang bisa mendapatkan beasiswa itu, kupegang erat tangan kedua orang tuaku yang duduk di samping kanan dan kiriku. Detik demi detik, sedikit lama membuat diri menanti, membuat rasa resah dan harap-harap cemas kian menusuk hati “Vano Julio.” Ketika nama kakakku tersebut, senyuman paling lebar dariku tampak terpancar berbinar terang dari wajahku dan tertuju persis didepan kakakku, karena aku sengaja duduk di deretan paling depan, agar jelas untuk melihatnya. “Kakak, kau memang kristal hatiku, kau memang nafasku, kau pancarkan semua cahayamu untuk hati si bungsu ini.” Kataku lirih seraya Mama dan Papa makin erat memegang tanganku. “Semua ini, saya persembahkan untuk adik saya satu-satunya, dan dialah detak jantung saya Puty Maydica, dimana setiap detak jantung saya, selalu menggendangkan nama indahnya.” Kata kakakku dengan nada khasnya ketika dipersilahkan untuk berbicara dimuka umum. Dan dengan so sweetnya, ia jalan menuju aku yang sedang duduk hanya untuk memakaikan trophynya padaku dimuka umum, seraya ia mengusap air mataku yang kian deras menetes dipipiku. Pelukan erat dari seorang kakak pada adik yang sangat berharga, ia beri sangat spesial di hari istimewa ini. Aku, kakak, mama dan papa pulang kerumah dengan perasaan gembira namun juga sedikit sedih karena hendak di tinggal oleh si sulung jauh ke Paris. Dalam perjalanan pulang kerumah, aku duduk terdiam menatap keluar jendela, mengingat canda tawa bersama kakakku selama hampir 17 tahun ini. “Puty kenapa? Kok diem aja?” Tanya kakakku dengan nada khasnya diiringi dengan membelai rambutku “Kakak sebentar lagi studynya di Paris, di negeri orang.” Kataku lirih rada cengeng “Demi masa depan Puty, kakak janji akan sering-sering balik ke Indonesia.” Kata kak Vano mencoba menghiburku, “Tapi kak, siapa yang bakalan nerbangin layang-layangku” Kataku mulai meneteskan air mata, aku mendengar hembusan nafas kakakku sedikit berat “Puty, kakak bisa kok batalkan beasiswa itu dan mengalihkannya pada orang lain. Terus kakak study S2 disini aja.” Kata kak Vano entah rela entah setengah rela ataupun tidak rela sama sekali, aku hanya tercengang shock melihat kakakku yang tersenyum menatapku, dan aku melihat mama papa menengok ke arah bangku baris ke dua mobil dari cermin mobil dalam. “Jangan kak, kakak lanjut aja. Biar nanti Puty yang nyusul kakak ke Paris.” Kataku sambil menepuk lengan kak Vano, aku melihatnya tersenyum sukses mengokohkan bongkahan kristal hatiku yang nyaris retak. Setelah sampai dirumah Kak Vano mengajakku menerbangkan layangan berpesan di tengah alun-alun kota, mengajakku makan ice cream vanilla coklat dan mengajakku bermain game di seluruh mall yang ada di Kota Jakarta ini. Meskipun begini, jujur aku belum rela melepas kakakku, aku takut kesepian ketika esok kakakku benar berangkat ke Paris. “Namun aku harus merelakannya. Demi cita-citanya, demi masa depannya” sugesti positifku untuk diriku sendiri.
Ujian nasional tiba. Kakakku masih mendampingiku di Indonesia dan masih senantiasa memberiku semangat untuk terus berprestasi mengejar masa depan gemilang. Waktu bergulir tanpa henti sedetikpun kecuali jam dinding di kamarku karena batrainya habis. Pengumuman kelulusan didepan mata. Bulan Mei telah tiba, tanggal yang di nanti selama tiga tahun menggali ilmu di SMA inipun telah tiba. Aku sebagai duta kekeluargaan disekolah menuntun teman-temanku untuk saling merapat di tengah lapangan dan sedikit berucap sepatah dua patah “Teman-teman, kita bersama masuk di SMA tercinta ini dengan bahagia, kita masuk bersama disekolah ini dengan test tulis dan test kesehatan yang begitu rumit, dan kita berupaya mengeluarkan diri dari sekolah tercinta ini dengan kenikmatan ujian-ujian selama ini, maka dari itu kita semua harus lulus 100% dengan nilai yang membanggakan. Ingat slogan kita sebelum ujian nasional “MASUK BERSAMA LULUSPUN BERSAMA” kataku sambil menunggu para teman-teman merapat di tengah lapangan dengan rapi dan tertibnya. Setelah aku mengucapkan sepatah dua patah di depan muka para temanku, aku langsung masuk barisan perkelas. Acara mulai tergelar, amplop berwarna abu-abu berukuran besar mulai terbagi dan akupun telah menggenggam erat dalam tangan, tulisan LULUS/TIDAK LULUS ada dalam amplop ini dan sukses membuat jiwaku penasaran dan jantungku terguncang berdendang keras. Ketika nada panas mulai terdengar secara lembut, dan tangan mulai perlahan membuka rekatan dari lem yang ada pada amplop berwarna abu-abu berukuran besar tersebut dan salah satu guru memberi aba-aba “Satu...........dua..................ti......................ga. buka amplop masing-masing dan teriakan LULUS” aku dan teman-teman girang karena kita semua lulus, dan kita meneriakkan kata LULUS dengan keras sekeras orang disawah mengusir burung pipit. Alena, Ciko dan Arif mengajakku untuk menerbangkan layangan berpesan setelah puas melihat tulisan lulus meski belum tau bagaimana hasil dan nilainya.
Satu minggu kemudian tepatnya di hari ultahku di bulan Mei, pada senja hari pukul 18.00, ketika aku sampai rumah dengan keadaan lelah karena banyaknya job pemotretan “Rumah ini sepi sekali, tumben.” Benakku dalam hati dan aku mencoba memanggil kakakku, mamaku, papaku, dan bahkan pembantu rumah tangga dirumahku, namun tak ada satupun yang menjawab. Ketika aku masuk kedalam ruang tengah dan menyalakan lampu “Happy sweet seventeen cantiiiiik.” Kata kakakku dengan membawakan kue brownies bertabur keju almond kesukaanku dengan lilin berangka 17 berwarna biru, ada mama papa membawakanku kado yang super duper besar, dan ada Ciko, Alena, Arif, Kak Vibra beserta tunangannya, Kak Winda, para sahabatku dari Bandung, dan juga anak-anak panti yayasan keluarga di Bandung. Aku bahagia mereka semua senantiasa berapresiasi dalam ultahku yang ke tujuh belas tahun. Kita merayakan moment bahagia ini di rumahku “Classic” adalah tema yang dipilih kak Vano pada HUTku kali ini. Senyuman, canda tawa, dan kisah manis ada dalam hari ini.  Tak terasa malam itu bergulir sangat cepat, dua hari kemudian, acara lepas pisah dan serah terima di SMA Negeri Unggulan di gelar. Sama seperti wisuda di kampus kak Vano, adanya beasiswa untuk keperguruan yang lebih tinggi menanti satu siswa maupun siswi berprestasi. Kebaya berwarna coklat metalic dan tatanan make-up classic penata rias handal yang sudah aku kenakan makin membuat jantungku menjadi jadi debarannya. Resah dan gelisah setelah prosesi berlangsung, karena pada detik ini juga akan diumumkan siswa maupun siswi berprestasi “Puty Maydica.” Terdengar namaku tersebut pada detik itu juga, sambutan tepuk tangan meriah dari semua orang. Seusainya lepas pisah dan serah terima berlangsung, Arif senantiasa mengenalkanku pada kedua orang tuanya, dan orang tuaku serta kak Vanopun turut diperkenalkannya. “O, Puty ini pemeran utama di film terbaru produksi LB Film judulnya Lady Galau ya.” Kata Papa Arif padaku dengan diikuti tertawa khas para bapak dan ibu. “Iya Om, saya lady galaunya.” Kataku tersipu malu sambil menundukan kepala “Arif pintar cari pacar ya Pa, sudah cantik, pinter, artis lagi.” Kata Mama Arif disusul dengan tertawa khasnya para bapak dan ibu yang mengejutkanku dan juga mengejutkan Arif, sedangkan kakakku dan Kak Winda berpegangan tangan mesra dengan sok ngejailin aku dan Arif yang tengah tersipu malu “Mama apaan coba? Kaga Ma.” Kata Arif menyangkal pada Mamanya “Iya juga ngga apapa.” Kata Mama dan Papaku kompak bagaikan orang yang sedang paduan suara. Tak memperdulikan kakakku dan kak Winda yang asik bermesraan, dan juga tidak memperdulikan kedua orang tuaku dan orang tua Arif yang sedang bersua-sua ria. Aku dan Arif pergi menjauh dari mereka, tepatnya di taman bunga dekat gedung wisuda sekolah, aku dan Arif menerbangkan layangan, dengan mesranya Arif membantuku menerbangkan layanganku.
            Kuliah, dimana jam kosong jauh lebih banyak pada waktu masa kuliah. Namun entah jika terjun di fakultas kedokteran, mungkin seperti kakakku yang memang santai namun butuh keseriusan tinggi. Aku, Arif, Alena, dan Ciko keterima di kampus yang sama dengan fakultas yang berbeda. Sedangkan kakakku, dia sudah berangkat ke Paris tadi malam, ya tentu saja bandara internasional menjadi tempat kenangan melepas kakakku satu-satunya ke Paris. Aku teringat kata-kata kak Vano pada Arif yang juga sedang mengantar kakaknya untuk melanjutkan study S2 jurusan perkantoran di Paris. OSPEK, adalah sesuatu yang wajib aku rasakan saat ini selayaknya MOS saat aku SMA dulu. Dirga adalah kakak kelasku saat SMA dulu dan sekarang menjadi kakak seniorku saat OSPEK, aku masih teringat dia menyatakan perasaan sayangnya pada diriku, namun aku menolaknya karena aku masih fokus sekolah untuk meraih fakultas kedokteran seperti saat ini. “Puty, lu sudah masuk di kampus amd fakultas yang lu harapkan. Apa lu masih menolak rasa sayang gua ke lu?” Kata Kak Dirga mengejutkan aku yang sedang menikmati waktu break OSPEK dengan asyiknya BBM’an dengan kak Vano yang jauh di negeri orang “Kak, maafin Puty. Puty ngga bisa terima kakak.” Kataku sungguh membuat kak Dirga hopeless “Kali ini apa alasannya? Sampai kapan sih lu mau single?” Kata kak Dirga ngotot, disinilah aku mulai memilah dan memilih laki-laki yang sekiranya pas untuk aku. Aku melihat kak Dirga yang selalu ngotot, dan juga beberapa lelaki yang juga ingin menjadi pacar aku. “Sampai Puty nemuin yang pas.” Jawabku singkat “Apa kurangnya gua coba?” Kata kak Dirga makin ngotot dan mulai membuat aku Be-Te tingkat kabupaten, tanpa sepatah katapun aku meninggalkan kak Dirga dengan senyuman kecut “Puty, gua butuh jawaban, bukan senyuman.” Kata kak Dirga bernada tinggi saat aku sudah hampir menginjakan kaki keluar ruangan. Aku capek dan lelah dengan kondisi yang seperti ini, aku melampiaskan semuanya pada tulisanku. Sore hari kemudian, aku pulang boncengan bersama Arif dengan motor kesayangannya “Lu kenapa Put? Kusut sumpah. Lu capek abis ya?” Tanya Arif padaku “Rif, kamu masih ingat kak Dirga itu kan? Yang kejar-kejar aku saat SMA dulu.” Kataku pada Arif saat perjalanan pulang. “Iya gua ingat, kenapa? Ganggu lu lagi?” Tanya Arif dengan nada khasnya “Iya” Jawabku bernada kesal “Suda dong, jangan sedih. Nerbangin layang-layang yuk.” Ajak Arif yang tentunya membuatku bahagia dan ceria kembali. Arif menerbangkan layanganku denagn senyuman manisnya, yang sukses membuat aku teringat pada kak Vano. Aku melihat wajah Arif tampak sekilas mirip kak Vano yang sedang menerbangkan layanganku, atau mungkin aku hanya terangan-angan oleh Kak Vano saja, atau bagaimana aku pun tidak tahu karena aku sedang merindukannya. Yang jelas dia pengganti kak Vano selama kak Vano ada di Paris, sesuai janji Arif pada kak Vano yang senantiasa menjaga aku selama kak Vano berada di Paris.
            Suara handphoneku berbunyi, nyaring begitu keras. Ketika aku melihat, rupanya kak Dirga menelfonku lagi setelah hampir satu tahun tidak pernah menelfonku. Tanpa aku hiraukan telfonnya, handphonekupun mati dengan sendirinya, suara handphone berbunyi kembali dan aku mulai geregetan karena aku kira itu telfon dari kak Dirga lagi, begitu aku lihat nama yang tertera adalah nama kak Vano, senyumku sumringah bahagia melihat nama indah kakakku. Dan akupun segera mengangkat telfon dari kak Vano, aku menceritakan tentang kak Dirga pada kakakku. Setelah hampir satu jam, Arif datang kerumah dengan membawakanku brownies tabur keju kesukaanku “Widiih, abis telfon sapa tu.” Kata Arif sok jail “Kak Vano dong.” Kataku bernada layaknya anak kecil yang sedang di telfon mamanya, dan Arif hanya bisa tertawa melihat tingkahku. Arif mengajakku ke pameran lukisan karena beberapa lukisannya yang juga di pamerkan dalam pameran lukisan itu. “Puty, kalau lu sukses dengan dunia tulisan. Gua akan buktikan pada semua orang bahwa seni lukis adalah dunia gua.” Kata Arif saat didepan lukisannya yang menceritakan tentang kebebasan. “Arif, kamu pasti bisa. Kali ini aku yang akan mensupport kamu.” Jawabku dengan senyuman manis pada Arif. Aku dan Arif akhirnya lebih dekat satu sama lain dan aku mulai menyadari bahwa Arif adalah orang yang memiliki sifat yang sama seperti kak Vano care, supel, perhatian, sabar, mengerti, perfect padaku. Ntah apa yang aku rasa detik ini yang jelas aku merasa hadirnya sosok kakak yang selalu ada pada hari-hariku selama tujuh belas tahun ini. Toko buku adalah tempat terakhir hangout hari ini, hari ini memang hari bebasku dengan Arif karena ini hari pertama libur setelah OSPEK selama satu minggu kemarin, ya hitung-hitung pemulihan rasa lelah OSPEK. Ice cream vanilla adalah hadiah yang selalu Arif beri padaku setiap kita selesai hangout, dan sebox coklat hitam yang selalu Arif beri setiap tiga hari sekali padaku untuk mengembalikan mood. Dan membantuku untuk selalu  menerbangkan layang-layang berpesan adalah kewajiban Arif disetiap harinya. Lelah sungguh yang aku rasa, tapi entah kenapa aku merasa nyaman saat dekat dengan Arif, “Apa mungkin karena sifatnya yang hampir sama persis seperti kak Vano?” Benakku dalam hati terkecil. Ditengah lamunanku, Arif mengajakku untuk menerbangkan sebuah layang-layang, akupun akhirnya menerbangkan layangan berpesanku di bantu oleh Arif.
            Hari hari kulewati dengan rasa senang dan riang, meski tugas dari kampus mulai memadat, tapi paling tidak, tugas dari kampus tidak sepadat saat SMA ya meskipun lambat laun pasti tugas-tugas makin memadat juga. Disamping kepadatanku dalam kuliah, aku masih tetap menitih karierku dalam dunia fashion, aku mulai cinta dengan karier fashionku, ini semua berawal dari kakakku yang menjadikanku partnernya di hari itu. Ya mungkin ini awal kesuksessanku kelak. Kata-kata dalam bathinku membuatku tersenyum sendiri didepan foto keluarga yang terpajang di ruang tamu. “Lho. Puty senyum-senyum sendiri.” Kata Mama menggugahku dari senyumanku “Ma, aku kangen kakak.” Kataku pada Mama yang berdiri disampingku seraya aku memegang foto wajah kakakku. “Kenapa ngga Puty telfon aja?” Kata Mama memberiku saran “Maunya gitu Ma, tapi aku takut ganggu kak Vano.” Kataku bernada sedikit kecewa. Ntah apa yang Mama lakukan, Mama mengambil ganggang telfon rumah dan memberinya padaku, akupun bingung akan maksud Mama, Mama yang geregetan melihat aku yang bingung sendiri langsung menaruh ganggang telfon di telingaku, terdengar suara alunan petikan demi petikan gitar yang amat merdu dan tak lama kemudian “Halo cantiiiiik.” Terdengar suara seorang laki-laki dewasa yang tak asing bagiku namun aku lupa suara siapa yang sedang menjadi lawan bicaraku via telfon. “Eitz, anda jangan kurang ajar. Anda siapa?” Kataku dengan suara agak emosi “Astaga Puty ini kakak.” Kata kakakku dengan kalemnya “Kak Vanooo..” Nadaku mulai lumer dan lemah lembut bagai putri solo “Ya ampun Puty, suaramu langsung lumer tau ngga.” Kata kak Vano yang dengan asyiknya ngejail “Ye, abisan kakak suaranya beda. Aku kira siapa gitu.” Kataku protes pada kak Vano “Iya kakak lagi flue. Disini musim flue.” Kata kak Vano dengan suara bengeknya, akupun shock mendengar akan kabar kakakku yang terkena flue di negeri orang. Akupun telfon berlama-lama dengan kak Vano tak jera-jera padahal aku ada janji dengan Arif untuk menerbangkan layang-layang berpesan, sampai-sampai Arif menungguku selesai telfon dengan menghabiskan segelas jus apel buatan Mamaku. “He, Arif maaf ya. Lama ya?” Kataku dengan nyengir tanpa dosa didepan Arif. “Ngga papa kok Put, santai aja.” Kata Arif dengan senyuman manis dan nada dewasanya. Akhirnya aku dan Arif pergi menerbangkan layang-layang di alun-alun kota karena kebetulan ada acara kemah siswa siswi SMP dan SD sekabupaten sehingga ditempat itu ramai. “Rif, kamu capek ngga kalau setiap hari harus kerumahku hanya untuk nerbangkan layang-layang gini?” Tanyaku pada Arif saat kita menikmati siomay langganan Arif yang letaknya masih di tengah jantung kota itu. “Ngga kok Put, gua malah seneng banget bisa bikin lu tersenyum. Gua paling seneng sata liat lu tersenyum setelah layang-layang itu terbang bebas di angkasa.” Kata Arif dengan wibawanya, aku hanya tersenyum melihat Arif. Aku dan Arif melanjutkan memakan siomay dan jus durian kesukaan Arif, aku melihat wajah Arif dengan seksama ada tahi lalat di leher dan pipi sebelah kanannya, dan itu persis sekali dengan tahi lalat kak Vano. “Lho Put, kok berhenti makan? Kenapa?” Kata Arif dengan kata-kata yang persis dengan kak Vano ketika aku memberhentikan selera makanku dengan tiba-tiba “Ehm itu, tahi lalat di leher sebelah kanan sama seperti kak Vano.” Kataku sedikit gemetar “Owh, ini. Iya, kata kak Winda juga gitu. Emang bener ya Put? Sory gua selama ini ngga perhatiin kakkak lu. Hehe.” Kata Arif dan dia balik tanya “Iya, aku jadi ngerasa disamping kakakku kalau seperti ini.” Kataku dengan kepala tertunduk memegang kalung dengan liontin berbentuk bulat yang berisi fotoku dan foto kak Vano, Arif hanya tersenyum saja dan mengoyak-oyak rambutku persis kelakuannya dengan Kak Vano.
            Kampus kampus dan kampus, kampus pilihan, kampus impian, kampus dambaan. Hari-hariku selalu bersama dengan kampus ini, bersama sahabat-sahabatku dan dosen-dosenku. Suatu hari ada acara di kampusku, kampus mengundnag beberapa band indie Jakarta termasuk bandku karena semua personilnya menimba ilmu di kampus ini meski beda jurusan. Happy riang dan gembira adalah sesuatu yang sangat aku rasa pada hari ini meski lelah karena harus performance tiga lagu sekaligus dan salah satunya adalah lagu rock. “Gila ya cewe se kalem lu ternyata bisa nyanyiin lagu rock juga.” Kata Kak Dirga yang juga performance di acara kampus “Iya dong kak.” Kataku dengan nada biasa menganggapnya teman meski pernah rada geregetan dengannya, untung saja tak lama dari itu Arif dan teman-teman bandku datang mengajakku istirahat di taman kampus, sehingga ada alasan tepat untuk aku menghindar dari kak Dirga. “Puty, lu ngapain si ladeni dia ngomong? Cuekin aja kali.” Kata Arif geregetan padaku “Lho, kok kamunya geregetan Rif? Cemburu ya!” Kataku niat jail pada Arif “Amat sangat cemburu.” Kata Arif tegas dan tampak serius padaku, dan dia sukses membuat aku tercengang mati kutu didepan semua teman bandku, dan tidak hanya aku teman bandkupun ikut tercengang dengan perkataan Arif, Arif hanya terdiam melihatku fokus. “Rif, kamu jangan nakutin aku gini deh.” Kataku mulai mengalihkan pembicaraan “Gua ngga nakutin lu Puty.” Kata Arif meyakinkan aku dan lagi-lagi membuat aku mati kutu tanpa kata sedikit pun. “Lha terus? Pandangan kamu itu bikin.. bikin aku...” Kataku pada Arif dan belum selesai aku berkata padanya Arifpun angkat kata “Puty, liat gua, dengar gua. Lu sadar ngga sih Put? Gua sayang banget sama lu? Gua cinta sama lu.” Kata Arif dan benar benar membuat aku shock di hadapan semua teman bandku dan Arif sendiri tentunya “Kamu jangan bercanda deh Rif. Jelek tau! ngga lucu.” Kataku pada Arif mulai gemetar “Put, lu mau kan jadi pacar gua? Gua sayang banget sama lu Puty” Tanya Arif padaku dan lagi-lagi membuat aku mati kutu entah untuk yang keberapa kali dan sukses membaut aku salting tingkat nasional. Aku melihat wajah penuh harapan pada wajah tampan Arif “Astaga, Tuhan apa aku harus menerimanya? Akankah ada hati yang tersakiti jika aku jadi dengannya? Namun tak bisa aku pungkiri rasa sayangku padanya.” Benakku dalam hati meminta petunjuk pada Tuhan. “Arif, aku juga sayang sama kamu. Aku mau jadi pacar kamu.” Kataku menjawab pertanyaan Arif dan sukses melihat pesona wajah cerah bersinar dan senyuman lepas dari wajahnya. Yaps hari ini aku resmi menajdi pacar Arif, hari-hari yang biasanya memanggil nama biasa berubah menjadi panggilan nama kesayangan satu sama lain. BB yang biasanya hanya untuk SMS’an dan BBM’an sekarang juga di pakai telfon hingga larut malam. Hangout yang biasanya hanya begitu saja, kini kian so sweet saja. Prestasiku dan Arif di kampus makin naik tingkatan dan saling kejar-kejaran dalam memperoleh nilai yang baik. Dan yang ngga kalah penting menerbangkan layang-layang yang biasanya hanya layangan berbentuk kupu-kupu, burung, wajik, dan beruangpun kini bertambah bentuk hati, dan itu di mulai saat detik ini.
            Hampir dua tahun berlalu. “Tlililililiiiiiiiiiiiiiiit...” Nada handphoneku berbunyi, aku mengira bahwa itu Arif yang sudah hampir dua hari tak ada kabarnya. Ternyata itu telfon dari kak Vano “Putyyyyyyyyyyy.....” kata kak Vano heboh tanpa mengucap salam seperti biasanya “Astaga kakak.. salam dulu kek.” Kataku pada kakakku “Hehe, abisan geregetan deh sama kamu. Jadian sama Arif udah hampir dua tahun ngga bilang kakak ya.” Kata kak Vano bernada sok kesal padaku “Yee, emang penting yaa.” Kataku pada kak Vano sok cuek bebek dan malas “Ya ampun tega yaa. Ini kakaknya sendiri lho.. heeemh.” Kata kak Vano dengan hembusan nafas panjang, dan akhirnya aku berbincang-bincang heboh dengan kakakku meski via telfon. Saking hebohnya aku dengan kak Vano akupun lupa untuk makan malam, sehingga Mama masih harus memanggilku seperti saat aku masi kecil dulu. Hari-hari aku lewati dengan status berpacaran dengan Arif, so sweet, dan mesra tak jera jera hingga hampir dua tahun belakangan ini. Beberapa bulan dari waktu lalu, kita semua tau bahwa di dalam setiap hubungan baik teman biasa, sahabat, pacar, tunangan bahkan suami istripun pasti ada kerenggangan di sela sela perjalanannya. Begitupun aku dengan Arif dua tahun lewat tiga bulan limabelas hari menajalani status berpacaran dengannya, kita harus putus dengan alasan yang sangat simple, namun kita masih tetap menjadi sahabat sejati seperti janji kita dulu saat sebelum berpacaran. Dua bulan terlewatkan, kini Arif menjalin hubungan yang tampak serius dengan seorang gadis yang juga satu universitas denganku dan Arif namun dia ada di fakultas ilmu gizi bernama Viandra. Sedangkan aku menjalin hubungan dengan seorang yang bergerak di bidang militer tepatnya POLRI, yang tak lain adalah anak jendral teman papa saat mereka SMA dulu. Suatu hari aku menghadiri pesta ultah Alena yang masih langgeng saja dengan Ciko, disini aku di pertemukan dengan Arif yang hampir tiga bulan tak jumpa karena Arif magang di Bogor sedangkan aku KKN di Bandung. “Hey. Kok sendiri aja?” Tanya Arif padaku yang sedang menikmati ice cream vanilla kesukaanku di samping kolam renang. “Iya. Kamu sendiri?” Kataku dan balik tanya pada Arif “Iya, pacar gua masih libur kuliahnya, so dia balik ke Sumatra. Pacar lu? Mana?” Jelas Arif dan diapun balik tanya padaku “Owh, dia ada dinas luar kota. Ya gitu lah kerjanya.” Kataku menjelaskan pada Arif “Owh, eh by the way ya. Kita hampir tiga bulan ngga kaya gini.” Kata Arif sok kangen dengan moment berduaan “Abisan kita berdua magang di kota yang berbeda sih.” Kataku pada Arif dengan ciri khasku, dan kita saling berbincang bincang seraya bernostalgia masa-masa berpacaran dulu. Hampir satu jam kita saling berbincang bincang, dan tak terasa acara ultah Alena telah usai. Aku dan Arif sebagai sahabat sejati Alena tidak langsung pulang setelah acara selesai, namun masih membantu Alena dan Ciko berkemas dan membuka-buka kado dari kerabat Alena yang lainnya. Hampir satu jam aku, Arif dan Ciko membantu Alena untuk membuka kado yang ia dapat, kitapun melanjutkan rutinitas geng yaitu saling bersua dan bercanda ria satu sama lain. Waktu yang bergulir kian cepat tak terasa telah lenyap begitu saja, aku harus kembali ke rumah untuk mengerjakan makalah-makalahku yang mulai menumpuk segunung. “Eh, Put. Lu pulang sama siapa?” Tanya Arif padaku saat aku hendak memesan taxi. “Ehm aku pesan taxi Rif.” Jawabku rada gerogi secara dia mantanku. “Owh, sama gua aja yuk, toh satu arah.” Tawar Arif dengan keadaan manis padaku, dan akhirnya akupun menuruti tawaran Arif untuk pulang bersama. Tiga hari kemudian di taman kampus, seperti biasa pacar aku sudah menjemputku, dan aku merasa bersalah kali ini karena telat hampir tiga perempat jam sehingga membuat pacarku harus menunggu hampir tiga perempat jam, ya untung saja dia bisa memakluminya. Tak ada kak Vano, tak ada Arif pacarkupun juga bisa membantuku untuk menerbangkan layangan berpesanku jauh tinggi ke angkasa. “Sampai kapan kamu nerbangin layangan gini?” Tanya pacarku ketika aku hendak memutuskan tali layanganku “Sampai akhir hayatku.” Jawabku simple pada pacarku “Kamu tau ngga ini tu hal yang memalukan, ini permainan anak-anak.” Kata pacarku sedikit dengan nada membentak sehingga membuat aku drop dan tak dapat berbicara sepatahpun, nyeri rasa kepalaku, detak jantungku terasa tak terkontrol, penglihatankupun terngiang-ngiang amburadul seolah kehilangan keseimbangan diri, lemas rasanya aku berdiri di tempat ini, akupun terjatuh entah bagaimana. Aku tak sadarkan diri, segera dilarikan kerumah sakit. Tiga hari kemudian, aku terbangun dari ketidak sadaranku dari hari itu, aku melihat sosok kakakku disebelah kananku, Arif beserta pacarnya dan pacarku berdiri disebelah kiriku “Aku dimana ini?” Kataku pada mereka semua “Kamu di rumah sakit Puty. Apa yang kamu rasakan.” Jawab kakakku dan bertanya apa  yang aku rasakan “Rumah sakit? Aku kenapa kak?” Tanyaku pada kak Vano tanpa memperdulikan pertanyaan yang kak Vano ajukan padaku “Puty, lu itu ngga sadar tiga hari gara-gara pacar lu ini.” Kata Arif tampak kesal pada pacarku, namun aku masih saja linglung ada apa sebenarnya, aku tidak mengingat sama sekali ada apa yang terjadi padaku. Akhirnya mereka menjelaskan secara perlahan tentang kejadian waktu itu, utamanya pacarku yang menceritakan dengan detailnya, karena hanya dia yang ada saat kejadian itu.
            Satu bulan berlalu, aku melihat dari jarak yang tak jauh, Arif tampak ada masalah dengan pacarnya, karena mereka sedang ribut kecil di dekat koridor menuju taman kampus. Aku hanya menghela nafas dan berdoa agar mereka baik-baik saja, aku cuek dengan sikon mereka saat itu, akupun melanjutkan membaca buku yang aku sewa dari perpustakaan daerah tadi pagi. Tak lama kemudian “Masi banyak cewe diluar sana yang jauh lebih baik dari gua, gua ngga bisa lanjutin hubungan ini. Kita putus please, maafin gua.” Terdengar suara Viandra memutuskan Arif dan aku melihat Arif tampak menerimanya dengan biasa saja, meski mungkin perasaan Arif amburadul tak karuan. Seusai aku membaca buku sewaanku, aku berjalan menuju alun-alun kota untuk menerbangkan layanganku sekaligus menunggu pacarku yang menelfonku tadi pagi untuk mengajak ketemuan, tanpa sengaja aku melihat Arif yang sedang duduk termenung dan tampak galau “Hey.” Sapaku pada Arif seraya menyodorkan es teh rasa lemon padanya “Hey.” Jawab Arif tampak lesu setengah mati “Kamu kenapa?” Tanyaku pada Arif sok kepo “Kelar.” Kata Arif dan aku sudah mengerti “Owh itu, kamu sabar aja ya Rif. Semua pasti indah pada waktunya. And kamu pasti bisa dapat yang jauh lebih baik” Kataku pada Arif tak bisa terlalu panjang “Thank’s ya Put. Gua cuma ngga tega aja tadi ngeliat Viandra netesian air matanya. Ya meskipun dia yang mutusin hubungan kita.” Kata Arif padaku “Lho, dia yang mutusin tapi dia yang bewek sih?” Kataku heran pada Arif, dan Arif hanya menggeleng gelengkan kepalanya saja tanpa menjawab pertanyaanku. Tak lama, pacarku datang dengan raut wajah yang juga tampak lesu, tak beda jauh dengan raut wajah Arif “Kamu kenapa?” Tanyaku pada pacarku sedikit resah dan aku merasakan ada sesuatu yang akan menjadi berita buruk, namun aku membuang rasa gila itu “Puty, kamu sayang aku kan?” Kata Pacarku secara tiba-tiba, dan aku hanya mengangguk anggukan kepalaku saja, aku mencoba menggenggam tangan pacarku, aku terkejut melihat cincin di jari manisnya “Ini..” Kataku shock akut “Iya Puty, aku minta maaf, aku ngajakin kamu ketemuan cuma gara-gara ini. Puty percaya aku, Aku terpaksa ngelakuin ini semua. Karena wanita yang di jodohkan dengan aku ini, umurnya ngga panjang.” Kata pacarku mulai menjelaskan “Maksud kamu?” Tanyaku rada bingung “Dia sakit keras, dan usianya.... argh sudahlah, yang jelas aku ngga bisa ngelanjut hubungan kita. Meskipun aku masih sayang sama kamu, aku ngga tega sama kamu.” Kata pacarku dengan nada pasrah, aku berusaha untuk tegar menghadapinya dengan menghela nafas yang panjang dan sekilas aku melihat Arif yang menyaksikan detik detik putusnya hubungan berpacaranku dengan pacarku “Aku ngga papa kok. Pilihan kamu itu tepat, dia jauh lebih membutuhkan kamu.” Kataku pada pacarku memberinya support, pacarku memeluk erat diriku dan mencium keningku, lalu ia pergi meninggalkanku dengan perasaan terpaksa. “Kelar.” Kataku seraya berjalan menuju bangku panjang tempatku duduk berdua dengan Arif sebelum pacarku datang. “Gila ya, gua putus hari ini, lu juga hari ini.” Kata Arif padaku “Entahlah.” Kataku bernada sedih, ya tentu saja sedih aku mulai menyayangi pacarku, namun harus seperti ini cara terpisahnya. Akhirnya Arif mengajakku untuk menerbangkan layang-layang dan makan ice cream vanilla kesukaanku.
            Hari-hari aku lewati dengan status jomblo, bukan lagi single seperti dulu. Ya tentu saja berbeda dulu aku single alias prinsip tapi sekarang aku jomblo alias nasib. Mungkin aku sendiri yang membuat nasib aku jadi seperti ini, aku membuat hidup aku jadi ruwet sendiri. Ruwet seperti benang, semburat seperti mainan rusak, abstrak seperti lukisan Arif saat zaman SMA kelas XI dulu. Layang-layang berpesan yang selalu menjadi temanku di setiap harikupun mulai malas aku terbangkan, entah kenapa, mungkin karena tidak ada yang menemaniku untuk menerbangkannya. Semua orang pada sibuk satu sama lain. Akupun demikian, aku sibuk dengan kuliahku. Sore hari di hari berikutnya, aku menerbangkan layanganku di bantu pak Otto alias supir pribadiku, aku menuliskan kata-kata abstrak dan tak mudah dimengerti oleh banyak orang dan bahkan mungkin aku sendiri, ya mungkin karena pikiranku yang sedang kacau balau tingkat provinsi. Hidupku terasa luntang lantung ngga jelas begitu saja, kakakku yang sudah kembali lagi ke Paris ngga tau bagaimana kabarnya, hingga malam hari tiba kak Vano menelfonku dan dia meminta maaf karena baru bisa menghubungi. Aku tentu saja memakluminya karena dia sedang sibuk skripsi begitu pula dengan aku yang sedang sibuk ujian di kampus. Esok hari kemudian, dan tumben tumben saja Arif datang begitu pagi ke rumahku “Rif, tumben pagi gini udah nongol aja.” Ledekku pada Arif menghangatkan suasana “Gua dirumah kesepian Put. Keluar yuk nyarap.” Tawar Arif pada aku, dan akupun menyanggupinya “Udah lama ya kita ngga nyarap gini.” Kata Arif ketika menikmati bubur ayam langganan kita berdua “Iya, aku jadi kangen deh. Dulu hampir setiap hari gini” Kataku menjawab perkataan Arif, akhirnya kita saling bercanda ria satu sama lain dan tidak hanya berhenti di depot bubur ayam itu saja, aku dan Arif juga melanjutkan kuliner lagi di berbagai tempat. Indah hari yang aku rasa saat ini, akupun tak lupa untuk menerbangkan layangan berpesanku di bantu oleh Arif seperti sediakala.
            Satu tahun berlalu, aku dan keluargaku harus go to Paris untuk hadir di acara wisuda S2 kak Vano. Aku bahagia melihat kakakku yang hendak diwisuda detik itu juga. “Kak, setelah wisuda, balik ke Indonesia kan?” Tanyaku pada kak Vano saat di apartment kak Vano “Maunya gitu Put, terus kakak kerja di rumah sakit Papa and lanjut study di Indonesia. Tapi....” Kata Kak Vano belum selesai bicara “Tapi apa kak?” Tanyaku pada Kak Vano memotong omongannya “Kakak masih ada kontrak kerja disini. dua bulan lagi baru habis masa kontraknya.” Kata kak Vano menjelaskan dan membuat aku sedikit kecewa “Yah, kakak ngga langsung balik dong.” Kataku sedikit manyun, dan Kak Vano hanya mengoyak oyak rambutku, dan kita semua segera berangkat ke aula kampus kak Vano. Malam hari kemudian, kak Vano mengajaku untuk berjalan-jalan keliling Paris “Kak Paris ini emang so sweet banget ya.” Kataku pada kak Vano “Iya Put, tapi lebih oke Indonesia lho.” Kata Kak Vano mengagumi Indonesia “Ya jelas lah kak, meskipun kaya akan koruptornya Indonesia juga kaya akan tempat wisatanya.” Kataku yang juga ngga kalah bangga dengan Indonesia. Aku sangat merindukan moment-moment ini, moment dimana aku dan kak Vano berdua saja di area terbuka dan ramai orang berlalu lalang sambil memakan kripik ketela rasa ayam panggang pedas kesukaan aku dan Kak Vano. Hampir pukul 23.00 aku dan kakakku pulang ke Apartment dan langsung tidur karena esok hari harus kembali ke Indonesia. Tidak bisa tidur, adalah kata yang pas untuk diriku malam ini, tentu saja demikian. Aku harus meninggalkan kakakku kembali ke Indonesia esok, rasanya masih ingin aku berdua saja dengan kakakku disini, namun mau bagaimana lagi? Kuliahku yang juga hampir wisuda harus segera aku selesaikan, agar segera beres dan sukses. “Kak, ntar acara wisuda Puty, kakak wajib dateng.” Kataku pada kak Vano saat di bandara hendak naik ke pesawat “Pasti tuan putri.” Kata kakakku dengan senyuman sambil mencubit pipiku dengan perlahan. Dan akhirnya aku meninggalkan kak Vano, aku meneteskan beberapa butir air mataku saat di dalam pesawat, berkata dalam bathin bahwa masih amat sangat merindukan kakakku tercinta.  Sampailah aku di Indonesia, negeriku tercinta, aku menerbangkan layanganku di bantu Papa, meski Papa terlihat lelah papa masih saja sudi untuk membantuku menerbangkan layanganku.
            Hari-hari penantian wisuda, kebaya istimewa yang sengaja Mama pesanpun telah terjereng indah nan anggun di kamarku. Aku melihat kebaya berwarna cream itu dengan raut pesona senyuman, hanya satu rasa beratku di hati “Akankah kakakku benar-benar datang pada acara wisudaku?” aku berharap-harap cemas akan hal ini, dan kerap kali hal ini membuatku meneteskan air mataku. “Mama, kak Vano bakalan datang kan?” Tanyaku pada Mamaku yang sedang membaca buku perkantorannya “Iya sayang itu pasti kakak kamu kan ngga pernah bohong sama kamu.” Kata Mama dengan membelai rambutku “Iya Puty, kakak kamu itukan sayang sama kamu dia ngga bakalan meninggalkan moment berharga ini.” Kata Papa melanjutkan kata-kata Mama dan membuat aku semakin yakin bahwa kakakku bisa hadir pada acara wisudaku kelak. Dua hari kemudian, aku pergi ke supermarket untuk membeli beberapa buah karena stok dirumah sudah mulai menipis “Puty.” Kata Arif yang kebetulan juga ada di supermarket itu “Arif, waduh belanja juga nih.” Kataku sok kepo “Iya Put, besok kak Winda datang, di rumah stok buah habis. Lha lu tau sendiri kak Winda sama buah gimana?” Kata Arif menjelaskan singkat padaku dan akhirnya kita berbelanja buah bersama. Setelah berbelanja aku dan Arif masih menyempatkan diri untuk pergi ke cafe hanya untuk menikmati secangkir kopi dan saling berbincang-bincang. Disela-sela perbincanganku dengan Arif, aku tiba-tiba merasa bahwa perasaanku pada Arif masih sama seperti saat aku berpacaran dengannya dulu, entah apakah Arif juga masih merasakan perasaan itu. Tak lama dari lamunanku, aku melihat Alena dengan Ciko masuk ke cafe, Arif segera memanggil mereka berdua dan mengajaknya bergabung dan saling bersua ria. “Duh masih langgeng ya.” Kataku pada Ciko dan Alena ditengah tengah kehebohan kita “Iya dong, lha kalian kayanya celebek-celebek nih.” Kata Ciko yang selalu saja jail “Apaan lu Cik, ngga kok.” Kata Arif tampak tersipu malu dan tiba-tiba menggugahku bahwa ia tak lagi berperasaan lebih padaku, seraya aku menghilangkan rasa itu dan kembali bersua ria dengan sahabat-sahabatku sejak SMA. Pagi hari kemudian, aku sudah siap untuk menyambut kedatangan kakakku, karena kakakku berjanji hendak datang satu hari sebelum wisudaku, dan hari itu ialah hari ini. Resah dan gelisah aku menunggu kakak kesayanganku yang tak kunjung datang hingga malam hari tiba, dan bahkan handphonenyapun susah untuk di hubungi. “Puty, kenapa kok resah sekali.” Kata Mama menghampiri aku yang berdiri di teras rumah “Ma, harusnya kak Vano datang lima jam yang lalu. Tapi ini?” Kataku pada Mama yang berdiri di sampingku “Mungkin jalanan macet sayang. Lebih baik kamu tidur besok bangun pagi.” Kata Mama padaku dan menyuruhku untuk lekas tidur, dan akupun tidur dengan perasaan gelisah. Pagi hari kemudian aku terbangun dan segera melihat kamar kakakku, memastikan bahwa ia sudah datang dan tidur di kamarnya, dan hasilnya “NIHIL.” Kak Vano belum juga datang sampai detik ini. Tanpa menunggu kak Vano akupun bersedia untuk di make-up, dua jam berlalu dan aku siap untuk berangkat ke kampus dengan kebaya istimewa dan dandanan bagai putri keraton, namun kakakku tak kunjung datang dan sukses membuat air mataku menetes lumayan deras. Papa dan Mama menghubungi kak Vano begitu pula dengan aku, namun hanphonenya lagi-lagi tidak dapat di hubungi, entah ada apa dengan kak Vano. Akhirnya Mama dan Papa mengajakku untuk berangkat ke kampus tanpa kak Vano, setibanya di kampus ketika aku sedang mengatakan kegelisahanku pada Kak Winda dan Arif, aku mendengar seseorang memanggil namaku dari kejauhan aku berupaya mencari suara tak asing itu. tak lama kemudian kak Vano datang meghampiri aku dengan senyuman dan tampak terlihat sedikit lesu “Kak Vano.” Kataku seraya melihat kakakku berdiri gagah dan tegap didepanku, kak Vano makin tersenyum lebar padaku “Maaf kakak telat, busy and any problem.” Kata kakakku padaku sambil memegang tanganku dan akupun memakluminya, akhirnya kita semua masuk kedalam aula kampus untuk mengikuti wisuda. Prosesi demi prosesi telah berlalu, sama halnya dengan kak Vano pada beberapa tahun lalu tentang mahasiswa ataupun mahasiswi yang mendapat beasiswa melanjutkan study S2 gratis, namun kali ini berbeda karena mahasiswa ataupun mahasiswi dapat bebas memilih universitas yang dia harapkan. Tak lama kemudian namaku tersebut sebagai mahasiswi yang berhak mendapatkan beasiswa itu, rasa senang nan bahagia menyelimutiku. Setelah selesai wisuda kedua orang tuaku dan Kak Vano bertanya padaku tentang universitas yang aku harapkan dan aku tetap memilih pada universitas yang sama seperti saat ini “Waduh ngga bosan kamu Put.” Kata kakakku sok ngejail “Ngga lah kak, belajar kok bosan. Meski tempatnya sama enjoy aja” Kataku sok keibuan dan sukses membuat kedua orang tuaku tertawa dan kakakkupun ikut tertawa. Aku dan keluargaku pulang kerumah dengan rasa bahagia. Papa telah menempatkanku dan kak Vano untuk bekerja di rumah sakitnya, tak se efektif kak Vano ketika bekerja aku masih harus tempur dengan kuliahku.
            Dua tahun berlalu, kak Vano dan kak Winda niat untuk melanjutkan hubungan mereka kejenjang yang lebih serius. Begitu pula dengan Arif, ia memintaku untuk aku menjadi pacarnya lagi untuk yang kedua kalinya dan bahkan meresmikannya dengan bertunangan. Entahlah apakah aku bisa menjadi yang sempurna untuk Arif. Waktu bergulir seiring pergantian detik tak terasa hampir satu tahun setengah terjalani sudah, Kak Vano dan Kak Winda hendak menunggu kelahiran bayi mungil pertamanya, sedangkan aku masih berstatus bertunangan dengan Arif. Lima hari kemudian bertepatan dengan kelahiran Arif, anak pertama kak Winda dan Kak Vanopun lahir tanpa kekurangan sedikitpun, bahagia rasanya aku memiliki keponakan yang lucu apalagi bayi mungil ini seorang perempuan, rasanya ingin selalu aku manjakan dengan jepit rambut berbentuk bunga dan bintang. “Eh, di gendong tante Puty ya nak.” Kata Kak Winda mengejutkanku yang sedang menimang-nimang Vanda bersama Arif di taman rumah mereka. “Ma, Puty sama Arif sudah cocok ya jadi orang tua. Lihat tu gayanya nimang anak kita. Cocok banget deh.” Kata Kak Vano pada Kak Winda mulai jail “Iiih kak Vano kumat deh.” Kataku sedikit malu gara-gara perkataan kak Vano “Udah, buru-buru nyusul aja.” Kata kak Winda menambah kejailan kak Vano, dan akhirnya kita semua saling ketawa ketiwi tak kenal waktu. Disuatu saat aku merasakan kelelahan ketika aku kerja sebagai seorang dokter di rumah sakit milik Papaku sendiri “Pa, jadi dokter itu capek juga ya. Bingung.” Keluhku pada Papa saat makan siang bersama “Ya, sebenarnya susah susah gampang, tapi Puty jalani aja deh. Dari pada nganggur? Katanya mau jadi wanita karier.” Nasehat Papa padaku, dan akupun melumat semua nasehat Papa dengan penuh khidmat. Sekitar pukul 15.00 ketika aku ada hendak masuk kedalam rumah, aku mendengar suara yang amat bising namun berbau kebahagiaan, aku menduga bahwa semua keluargaku berkumpul, dimana ada kak Vano and family dan ada kedua orang tuaku, namun tidak dengan Arif karena ia mendapatkan sift malam di rumah sakit tempatnya bekerja. “Vandaaaa...” Hebohku saat melihat keponakanku ada di dalam rumah kedua orang tuaku “Tuh tante cantik datang.” Kata Mama sambil menggendong Vanda. Kita semua bercanda ria tertawa bersama, yang sangat membuat aku bahagia ialah kakakku mengajak Vanda untuk menerbangkan layangan berpesanku dan mengajak Vanda untuk bermalam di rumah kedua orang tuaku.
            “Pagi cantik.” Kata kak Vano mengejutkanku yang sedang duduk termenung di ruang kerjaku “Pagi-pagi bengong. Ada apa?” Tanya kak Vano “Mikir wisuda kak, kak Vano bisa datang ngga? Secara kakak sudah berkeluarga and kakak di rumah sakit ini sibuuuuuk banget.” Kataku dengan nada lemas “Pasti bisa apapun demi kamu sayang. Keluarga kakak ya kakak ajak, anyway Arif kan juga wisuda. Masalah sibuk bisa dihentikan. Demi adik kakak yang cantik ini” Kata kakakku menenangkan aku, dan akhirnya kita saling ngobrol membahas tentang party dan tema pernikahan, entah pernikahan siapa. Dua bulan kemudian wisudakupun berlangsung dengan lancar, aku sangat senang karena wisuda kali ini dihadiri oleh keluarga besar. Tentu saja ada kedua orang tua Arif dan kedua orang tuaku yang tetap tampak awet muda dan segar bugar, ada Kak Vano dan Kak Winda bersama dengan putri pertamanya. Sama halnya dengan wisuda-wisuda sebelumnya selalu dinobatkan tiga mahasiswa ataupun mahasiswi prestasi terbaik, bagaimana aku tak makin bahagia, namaku tersebut kembali sebagai urutan pertama dan nama Arif menyusul pada urutan kedua. “Kapan kalian mau menikah?” Tanya Papa Arif ketika saling berkumpul di rumah kedua orang tuaku “Kalau Arif sesiapnya Puty aja Pa.” Kata Arif tampak santai namun sangat terlihat keseriusannya “Ehm, kalau bisa secepatnya aja Pa. Biar Vanda cepet-cepet punya saudara gitu. Hahaha” Kata Kak Vano pada Papa mertuanya yang sukses membuat aku malu, namun aku fikir bahwa ini sudah hal yang wajar karena usia yang juga sudah menunjukan waktu menikah. Berhari-hari kemudian, disaat aku tidak ada jadwal bekerja dan Arifpun demikian, aku dan Arif mencoba untuk membicarakan tentang pernikahanku dengannya. Beres semua yang harus dipersiapkan untuk pernikahan, mulai dari baju akhad nikah, baju resepsi, hidangan, gedung, penghulu, mas kawin, undangan dan lain sebagainya. Aku fikir itu semua akan berjalan dengan lancar, entah ada apa, entah mengapa, dan entah bagaimana. Setiap kali hubunganku dengan Arif hendak berlanjut makin serius, selalu ada kendala yang ada-ada saja menghalanginya. Dan kali ini Arif harus di tugaskan untuk bertugas di Sulawesi untuk menolong korban bencana alam di sana. Resah gelisah saat aku melepaskan Arif untuk bertugas disana, aku hanya takut akan ada gempa susulan saat ia sedang bekerja menolong korban yang ada disana. Lima hari kemudian ketika aku menonton berita nasional, ada banyak sekali berita yang menyiarkan bahwa di Sulawesi terjadi gempa susulan yang skalanya lebih besar. Malam hari kemudian ketika aku sedang bersantai “Tlililililiiiit....” Suara handphoneku berbunyi, dan akupun segera mengangkat telfon itu, berharap bahwa itu telfon dari Arif, dan saat aku melihat nama yang tertera pada layar monitor handphoneku itu tertera nama Arif “Halo, dengan Dokter Puty?” Kata lawan bicaraku dan itu bukan suara Arif “Iya betul, maaf apakah ini bukan Arif?” Tanyaku mulai bingung “Bukan Dokter, saya anggota tim SAR menemukan Dokter Arif terkena timbunan kayu saat ada gempa susulan. Sekarang di rawat di rumah sakit karena belum sadarkan diri sejak kemarin malam” Kata lawan bicaraku, tentu saja handphoneku terlepas dari genggamanku dan terjatuh keras  ke lantai, aku meneteskan air mataku dan mengatakan dalam benakku bahwa apa yang aku rasakan saat Arif hendak berangkat ke Sulawesi adalah kenyataan. Ketika aku telah berdiri lemas, kakakku menuntunku dan menyuruhku duduk di kursi, sedangkan kak Winda buru mengambil handphoneku yang tergeletak jatuh di atas lantai rumah “Ada apa Put? Siapa yang telfon? Bukan Arif?” Tanya beruntun Kak Vano berwajah panik sambil mengusap air mataku “Arif kak, dia.. dia..” Jawabku tak bisa melanjutkan perkataan saking sedihnya, kak Vano memeluk erat diriku dan Kak Winda mengelus-elus pundakku dan mencoba untuk menenangkan aku, aku mulai untuk menjelaskannya. Aku segera menulis pesan pada layanganku dan menyuruh kak Vano untuk menerbangkannya, disamping itu kak Winda memesan tiket pesawat untuk kita semua berangkat ke Sulawesi.
            Dua hari kemudian dan Arif belum sadarkan diri juga, aku dan semua anggota keluarga berdiri di samping Arif dan membacakannya do’a untuknya. Tak lama dari itu Arif tersadar dengan menyebut namaku, segera Papaku memanggil dokter untuk mengontrol kondisi Arif, “Puty, lu kecewa sama gue? Karena gue ngotot pergi kesini?” Tanya Arif dengan nada lesu tentunya “Ngga Rif, aku ngga kecewa.” Kataku pada Arif “Kalau loe ngga kecewa, kenapa loe nangis coba?” Tanya Arif kedua kalinya “Rif, aku itu khawatir sama kamu.” Kataku makin deras air mata yang mengalir, Arif membasuh air mataku dengan senyumannya “Put, jujur gue udah ngga kuat. Gue mau....” Kata Arif makin loyo “Ngga Rif kamu jangan bicara gitu.” Sangkalku ketika Arif belum selesai bicara “Tapi Put, beneran gue ngga kuat. Gue mau pergi jauh.” Kata Arif super lemas makin membuat air mataku mengalir deras tak karuan “Kalau kamu pergi aku sama siapa Arif? Please jangan ngomong gitu” Kataku yang juga makin lemas sekujur tubuh, dan Arif tersenyum diiringi tetesan air mata padaku “Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit” Terdengar alat deteksi jantung menunjukan bahwa jantung tak lagi berdetak, suster dan dokterpun mencoba untuk mengembalikan detak jantung Arif unt6uk kembali berdetak, namun alhasil itu semua gagal. Detak jantung Arif tak kembali dan membuat aku hilang kendali, aku mengoyak-oyak Arif dan membisikan kata-kata cinta yang pernah Arif ucapkan kepadaku, ambisiku untuk Arif kembali amat tinggi, bagaimana tidak, aku terlanjur mencintainya sepenuh hatiku dan menerima segala kelemahan dan kekurangannya dengan tulus ikhlas. “Puty, udah Put. Jangan kaya gini.” Kata kak Vano menenangkan aku dan berupaya menarikku, aku hanya memeluk erat Arif yang tergeletak di atas tempat tidur. Beberapa detik kemudian ketika dokter hendak melepas alat pendeteksi detak jantung “Tit.. tit.. tit..” terdeteksi kembali detak jantung Arif dan membuatku lega “Subhanallah, ini benar-benar mukzizat.” Kata dokter yang merawat Arif, Arif tersadar dan kondisinya langsung pulih seratus persen. Di sore hari yang damai, aku mengajak Arif menerbangkan layang berpesanku, meski Arif masih duduk di kursi roda aku sangat bersyukur bahwa Arif tak jadi pergi jauh dariku.
            Satu bulan kemudian waktu yang di nantikan tiba, pernikahanku dan Arifpun berlangsung dengan lancar tanpa hambatan setitikpun. “Selamat ya. Kalian memang serasi” Kata Kak Dirga memberikan ucapan selamat padaku dan Arif. “Iya kak makasih ya. Calon istri kakak cantik juga kok.” Kata Arif mulai usil dan akhirnya kita ketawa ketiwi di standing party dalan resepsi pernikahanku dengan Arif. “Puty, Arif. Ayo lempar bunga.” Kata Kak Winda membawakan serangkaian bunga padaku dan Arif diiringi dengan Kak Vano sambil menggendong Vanda “Kakak ngga mau ikutan nih? Hehe” Ledek Arif pada kak Winda “Wah, jangan dong Rif. Winda nikahnya sekali aja sama kakak.” Kata Kak Vano ngga mau kalah gokil dengan Arif. Ketika acara pelemparan bunga, tanpa sengaja bunag itu terlempar pada kak Dirga dan calon Istrinya. “Mungkin mereka memang benar-benar jodoh.” Benakku dalam hati. Pada malam yang indah ini aku berharap dapat menjalin hubungan rumah tangga seperti kedua orang tuaku dan kakakku yang saling melengkapi satu sama lain. Pesta resepsi pernikahan selesai, tanpa ganti gaun pengantin, aku dan semua keluarga besarkupun menerbangkan layangan berpesanku jauh tunggi menjulang ke angkasa. Aku berharap hubunganku dengan Arif akan langgeng sampai nenek kakek dan tidak ada yang bisa memisahkan kita kecuali takdir maut yang bisa memisahkan kita.


“Bahwa apapun yang kamu tulis terinspirasi dari sebongkah besar kristal hatimu.”


TAMAT